Menebas Aral Kemandirian Petrokimia Akibat Produk China yang Melimpah di RI

Tantangan Industri Petrokimia dalam Mewujudkan Kemandirian

Pasar petrokimia di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan, termasuk ketatnya persaingan dengan produk impor dan ketersediaan bahan baku. Meskipun upaya untuk mewujudkan kemandirian industri petrokimia terus dilakukan, para pelaku usaha tetap menantikan kebijakan yang dapat memperkuat pasar domestik serta dukungan fiskal.

Asosiasi Industri Olefin, Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas) menilai pemerintah perlu memberikan insentif fiskal baru untuk menjaga daya saing industri dalam negeri, khususnya menghadapi tekanan produk impor dari China yang semakin agresif masuk ke pasar domestik. Usulan ini muncul bersamaan dengan mulai beroperasinya pabrik petrokimia baru di Cilegon milik PT Lotte Chemical Indonesia (LCI) yang diharapkan dapat mengurangi ketergantungan impor.

Sekretaris Jenderal Inaplas Fajar Budiyono menyatakan bahwa kehadiran pabrik baru ini juga perlu diiringi dengan pengawasan laju impor produk petrokimia dari China yang masuk ke Indonesia dengan harga lebih murah. Ia menyarankan agar PPN DTP sebesar 3% dapat menjadi angin segar bagi pelaku usaha industri petrokimia. Dengan demikian, produk yang dihasilkan pabrik lokal dapat lebih bersaing secara adil dengan barang impor.

Fajar menjelaskan bahwa insentif berupa tax holiday dan tax allowance yang diberikan pemerintah saat ini memang memudahkan investor. Namun, efektivitasnya masih kurang untuk persaingan di pasar. Untuk itu, usulan mulai diarahkan pada pemberian insentif PPN yang ditanggung pemerintah bagi industri petrokimia yang beroperasi secara terintegrasi.

Peran Pabrik Lotte Chemical Indonesia

Beroperasinya fasilitas naphtha cracker dan pabrik polipropilena baru milik Lotte Chemical Indonesia (LCI) dinilai mampu menekan ketergantungan pada impor ethylene (C2) dan propylene (C3). Pasokan domestik yang meningkat diharapkan dapat memperbaiki keseimbangan impor-ekspor produk antara hulu hingga hilir. Namun, pelaku usaha menilai pembangunan pabrik saja belum cukup untuk membuat industri lebih kompetitif.

Meski demikian, struktur produksi di Indonesia masih kurang fleksibel dibandingkan China. Negeri Tirai Bambu memiliki banyak jalur pengolahan bahan baku petrokimia, mulai dari refinery, coal to olefin, hingga methanol to olefin, yang memungkinkan mereka menyesuaikan biaya produksi mengikuti pergerakan harga global. Indonesia hanya memiliki jalur refinery dan naphtha cracker, sehingga biaya produksinya lebih sensitif terhadap fluktuasi harga bahan baku.

Kondisi tersebut menyebabkan produk petrokimia China dapat masuk dengan harga jauh lebih rendah. Pelaku industri mengkhawatirkan bahwa pabrik baru sekalipun dapat kesulitan bersaing tanpa intervensi kebijakan.

Kebijakan Perlindungan dan Pengawasan Impor

Ekonom menyebut pabrik petrokimia baru milik LCI sudah berada pada posisi kompetitif secara teknis karena beroperasi terintegrasi dari proses cracking hingga polimerisasi. Namun, tanpa regulasi penguatan pasar dalam negeri, keunggulan biaya tersebut belum cukup untuk menghalangi penetrasi produk impor murah.

Kepala Pusat Industri, Perdagangan dan Investasi Institute for Development of Economics & Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho mengatakan, impor bahan baku plastik dari China terus meningkat tajam hingga 150.000 ton tahun ini, sementara pada tahun lalu hanya 80.000 ton. Volume produk plastik jadi impor yang masuk ke Indonesia juga sangat besar, yakni mencapai 900.000 hingga 1 juta ton per tahun dalam 2 tahun terakhir.

Untuk itu, Andry menyebut, pemerintah harus mendukung proyek strategis ini dalam bentuk perlindungan dalam bentuk hambatan tarif maupun nontarif untuk pengetatan produk impor. Menurutnya, segera lakukan investigasi pengamanan perdagangan seperti anti-dumping atau safeguard terhadap produk petrokimia yang terbukti masuk dengan harga di bawah biaya produksi atau berlaku subsidi besar dari luar negeri.

Kebutuhan Kilang Petrokimia

Selain persoalan kompetisi, ketersediaan bahan baku juga masih menjadi tantangan. Sebagian besar kebutuhan naphtha untuk petrokimia masih harus diimpor karena kapasitas kilang minyak Pertamina difokuskan untuk produksi BBM. Kondisi ini meningkatkan biaya produksi dan menambah kerentanan terhadap gejolak harga minyak mentah global.

Inaplas pun menyoroti kebutuhan kilang minyak khusus untuk memasok nafta ke pabrik industri petrokimia nasional. Direktur Kemitraan Dalam Negeri dan Internasional Inaplas Budi Susanto Sadiman mengatakan, kehadiran pabrik Lotte dapat membuat pengembangan industri petrokimia dan plastik Indonesia menjadi prospektif. Namun, masih ada pekerjaan yang harus dilakukan agar investasi jumbo ini optimal.

Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengatakan, bahan baku yang dibutuhkan untuk menunjang proyek Lotte Chemical yaitu 1,2 juta ton LPG dan 2 juta ton nafta. Nafta ini dari minyak dan LPG gas, jadi ini membuktikan hilirisasi Indonesia tidak hanya mineral batu bara, tetap beranjak pada hilirisasi oil and gas (migas).

Bahlil menyebut, dengan teknologi desain mutakhir dari Korea, kompleks petrokimia LCI ini menggabungkan efisiensi energi tinggi dan sistem rendah karbon. Fasilitas ini juga dirancang untuk menggunakan hingga 50% LPG selain nafta sebagai bahan baku utama, memungkinkan efisiensi biaya dan operasional yang signifikan.

Di sisi lain, Sekjen Inaplas Fajar Budiyono mengatakan bahwa impor bahan baku untuk Lotte Chemical masih full impor, utamanya 2 juta ton nafta yang belum dapat dipenuhi domestik. Ia pun mendorong Pertamina untuk dapat membangun kilang-kilang baru dan khusus untuk industri petrokimia. Fajar menyebut, idealnya Indonesia mesti memiliki kapasitas produksi minyak 3 juta barel per hari, sedangkan hari ini baru 1,5 juta barel per hari.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *