Penamparan Guru di Subang dan Tuntutan Uang Ganti Rugi
Rana Saputra, seorang guru yang menampar siswanya di Kabupaten Subang, Jawa Barat, mengaku dimintai uang ganti rugi sebesar Rp150 ribu sebagai biaya visum. Namun, hal ini tidak disetujui oleh Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang meminta Rana untuk tidak memenuhi tuntutan tersebut.
Peristiwa ini berawal dari kejadian penamparan yang dilakukan Rana terhadap siswa bernama ZR (16 tahun) setelah anak itu ketahuan meloncat pagar sekolah yang baru selesai dibangun. Mengetahui hal ini, orang tua ZR datang ke sekolah dan memicu ketegangan antara ZR dan Rana. Kedua belah pihak kemudian merekam kejadian tersebut dan mengunggahnya ke media sosial hingga viral.
Di sekolah, ZR dikenal sebagai siswa yang sering melakukan pelanggaran seperti merokok di lingkungan sekolah hingga berkelahi. Terakhir, ia mencoba melarikan diri dengan melompat pagar, yang akhirnya membuat Rana geram dan menamparnya.
Setelah kejadian tersebut, Rana telah mengakui kesalahannya di depan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, dan meminta maaf kepada orang tua ZR setelah pihak sekolah menggelar mediasi. Meski demikian, malam hari setelah mediasi, Rana kembali dihubungi oleh orang tua ZR yang masih meminta penyelesaian secara kekeluargaan, meskipun telah ada kesepakatan damai sebelumnya.
“Tiba-tiba malam saya ditelepon, ini kasus sebelum naik ke Polres kita selesaikan dulu dengan kekeluargaan (setelah video viral),” kata Rana, dikutip dari YouTube Kang Dedi Mulyadi Channel.
Orang tua ZR kemudian menunjukkan surat visum yang menunjukkan nominal Rp150 ribu. Namun, ZR tidak mengalami luka atau memar dan langsung kembali ke sekolah keesokan harinya. Rana mengatakan bahwa ia hanya menampar ringan dan tidak bermaksud menyakitinya.
“Memperlihatkan surat visum, di kwitansi Rp150 ribu. Sehat, anaknya langsung sekolah lagi besoknya, tidak (memar).”
Rana bersedia mengganti uang pengobatan jika memang diperlukan, tetapi ia menolak untuk membayar biaya lainnya. Ia dan orang tua ZR bahkan telah sepakat membuat surat perjanjian, meskipun belum ditandatangani.
Dedi Mulyadi melihat isi perjanjian tersebut dan meminta Rana untuk tidak memberikan ganti rugi. Ia menilai bahwa jika setiap siswa yang dididik oleh guru selalu dihukum dengan ganti rugi, maka akan berdampak pada cara mendidik. Ia khawatir guru akan menjadi cuek dan tidak berani bertindak tegas terhadap siswa yang bandel.
“Ini bukan urusan perjanjiannya, ini adalah urusan esensi pendidikan. Kalau setiap siswa yang akan dididik oleh gurunya, kemudian gurunya selalu menghadapi harus ganti rugi, baik materil maupun formil nanti guru akan cuek semuanya pada muridnya.”
Mendengar penjelasan tersebut, Rana menangis dan mengaku takut serta serba salah dalam mendidik siswanya. “Saya jadi takut pak, jadi serba salah. kalau saya mau cari aman enak-enak aja, tapi saya panggilan jiwa,” ucapnya menahan tangis.
Meskipun begitu, Dedi Mulyadi mengapresiasi kinerja Rana. Ia menilai bahwa Rana adalah guru yang baik, meskipun tindakan menampar tersebut dianggap melanggar. Ia juga meminta Rana untuk tidak memusingkan perjanjian ganti rugi tersebut dan menyinggung soal surat pernyataan yang menyatakan orang tua menaati peraturan di sekolah anaknya, apabila melanggar akan dikembalikan kepada orang tua.
Dedi Mulyadi juga akan menyiapkan pengacara untuk Rana jika kasus ini akhirnya dibawa ke ranah hukum. “Yaudah nanti kita pakai itu, kita beradu, saya akan dampingi bapak, saya siapin pengacara,” tandas Dedi Mulyadi.
Kronologi Kejadian Versi Sekolah
Kejadian penamparan Rana terhadap ZR bermula setelah upacara bendera, Senin (3/11/2025). Wakil Kepala Sekolah (Wakasek) Sarana dan Prasarana SMP Negeri 2 Jalancagak, Yaumi Basuki, menjelaskan bahwa peristiwa ini bermula dari upaya Rana menegakkan kedisiplinan. ZR dan tujuh siswa lainnya kedapatan meloncat pagar sekolah untuk bolos.
Pagar tersebut baru saja selesai dibangun dan pihak sekolah telah mewanti-wanti agar fasilitas itu dijaga. Namun, pihak sekolah tidak membenarkan adanya kekerasan fisik yang dilakukan Rana terhadap para siswa tersebut. Mereka menyebut kejadian ini sebagai bentuk kesalahpahaman antara orang tua siswa dan pihak sekolah.
“Kami ingin menegakkan kedisiplinan, namun kami juga tidak membenarkan adanya kekerasan fisik,” ujar Yaumi saat ditemui Tribunjabar.id di SMPN 2 Jalancagak, Rabu (5/11/2025).
Yaumi menjelaskan bahwa delapan siswa mendapat tindakan disiplin berupa tamparan ringan. “Iya, delapan orang. Guru hanya menampar pelan. Itu dilakukan setelah upacara dan anak-anak belum bubar,” terang dia.
Meski menyebut tindakan itu sebagai bentuk penegakan disiplin, pihak sekolah mengakui bahwa cara tersebut keliru. “Kami akan mengevaluasi cara pembinaan. Ke depan kami akan mencari solusi bagaimana mendisiplinkan tanpa kekerasan fisik,” ujar Yaumi.
Klarifikasi Orang Tua ZR
Sementara itu, orang tua ZR, Deni Rukmana (38), menjelaskan maksud dan tujuannya mendatangi sekolah usai anaknya ditampar guru. Ia menegaskan bahwa kedatangannya hanya untuk mengklarifikasi secara baik-baik. Namun, situasi memanas karena sang guru merasa tidak terima atas pertanyaannya.
“Awalnya saya datang karena dapat laporan anak saya ditampar beberapa kali. Saya hanya mau menanyakan secara baik-baik saja. Tapi salah seorang guru malah menanggapi dengan nada tinggi, seolah merasa tindakannya itu benar,” ujar Deni saat ditemui TribunJabar.id di kediamannya, Rabu.

Tinggalkan Balasan