Peran Budaya dan Lingkungan dalam Membentuk Selera Rasa
Di dunia kuliner global yang semakin menyatu, cita rasa menjadi jendela yang memantulkan perbedaan budaya, kebiasaan, dan bahkan fisiologi manusia. Dari sambal pedas di Bangkok hingga roti manis khas Eropa, setiap gigitan menyimpan kisah tentang bagaimana budaya membentuk selera. Sejumlah penelitian ilmiah terbaru kini mulai mengungkap bahwa preferensi rasa tidak hanya ditentukan oleh bahan makanan, melainkan juga oleh faktor sosial, lingkungan, dan genetika yang melekat dalam masyarakat.
Perubahan Preferensi Rasa pada Anak-Anak
Penelitian berskala besar yang melibatkan lebih dari 13.000 anak-anak dari tujuh negara Eropa menemukan bahwa preferensi rasa pada anak-anak Eropa berubah seiring bertambahnya usia. Semakin dewasa, ketertarikan mereka terhadap rasa manis, asin, dan lemak cenderung menurun, sementara rasa pahit mulai bisa diterima. Studi ini juga menyoroti bahwa lingkungan keluarga, terutama saudara kandung, memiliki pengaruh lebih besar dibandingkan orang tua dalam membentuk selera anak terhadap rasa makanan. Hal ini menunjukkan bahwa faktor sosial dalam rumah tangga, seperti kebiasaan makan bersama, lebih berperan daripada pola pengasuhan itu sendiri.
Pengaruh Negara Tempat Tinggal
Masih dari penelitian yang sama, ditemukan pula bahwa negara tempat tinggal turut mempengaruhi preferensi rasa anak-anak. Misalnya, anak-anak di Eropa Selatan menunjukkan kecenderungan lebih tinggi terhadap rasa asin dibandingkan mereka yang tinggal di Eropa Utara. Temuan ini menegaskan bahwa cita rasa bukan hanya persoalan individu, tetapi juga cerminan identitas budaya dan lingkungan kuliner tempat seseorang tumbuh. Seperti halnya masyarakat Mediterania yang terbiasa dengan makanan laut dan rempah asin, sedangkan masyarakat Nordik lebih terbiasa dengan olahan susu dan cita rasa lembut.
Analisis Pola Citarasa Lintas Budaya
Dalam riset berbeda yang dipublikasikan oleh Foods Journal, peneliti menganalisis lebih dari 25.000 resep daring dari tiga negara Tiongkok, Amerika Serikat, dan Jerman untuk memahami pola citarasa lintas budaya. Hasilnya, sistem kecerdasan buatan yang mereka gunakan mampu mengidentifikasi asal budaya resep dengan akurasi mencapai 77 persen. Temuan ini menunjukkan bahwa setiap budaya memiliki “sidik jari rasa” yang khas, bahkan hingga ke tingkat molekul senyawa aroma. Misalnya, masyarakat Barat cenderung memadukan bahan-bahan yang memiliki kemiripan senyawa rasa seperti mentega dan keju, sementara masakan Asia lebih sering menggabungkan bahan dengan kontras rasa tinggi seperti cabai, jahe, dan kecap asin.
Perbedaan Kecenderungan Cita Rasa
Lebih lanjut, studi ini juga mencatat bahwa masyarakat Amerika dan Jerman memiliki perbedaan cukup jelas dalam kecenderungan cita rasa. Amerika lebih menyukai rasa manis dan gurih, sedangkan Jerman cenderung memilih kombinasi asin dan netral. Adapun dalam konteks Asia, resep-resep dari Tiongkok menunjukkan kompleksitas rasa yang tinggi dengan kombinasi pedas, asam, dan umami. Pola ini menggambarkan betapa sejarah, iklim, dan kebiasaan lokal turut mempengaruhi pembentukan selera global.
Pengaruh Fisiologis dan Budaya
Namun, penelitian lintas budaya tidak hanya berhenti pada aspek bahan makanan. Dalam riset yang diterbitkan di Food Research International, ilmuwan membandingkan sensitivitas rasa antara masyarakat Belanda dan Tiongkok yang tinggal di Belanda. Hasilnya cukup mengejutkan, tidak ditemukan perbedaan signifikan dalam hal sensitivitas terhadap rasa manis, ketebalan, dan kekerasan tekstur. Penelitian ini mengindikasikan bahwa faktor fisiologis mungkin tidak sepenuhnya menentukan preferensi rasa, melainkan lebih banyak dipengaruhi oleh pengalaman budaya dan eksposur terhadap jenis makanan tertentu.
Adaptasi Fisiologis terhadap Rasa
Menariknya, berbeda dengan hasil tersebut, sebuah penelitian di Asia justru menemukan hubungan kuat antara kebiasaan makan dan sensitivitas rasa. Dalam studi lintas budaya yang dilakukan oleh Trachootham dan tim, ditemukan bahwa masyarakat Thailand yang terbiasa dengan makanan pedas memiliki ambang sensitivitas rasa yang lebih tinggi dibandingkan masyarakat Jepang yang cenderung menyukai rasa lembut. Artinya, orang Thailand membutuhkan stimulus rasa yang lebih kuat untuk dapat merasakan intensitas yang sama seperti orang Jepang. Hal ini menunjukkan bahwa preferensi terhadap makanan pedas bukan hanya masalah selera, melainkan adaptasi fisiologis terhadap pola konsumsi yang telah berlangsung lama.
Keterkaitan Global dalam Selera Rasa
Jika dihubungkan secara global, keempat penelitian tersebut menggambarkan bahwa “rasa” adalah fenomena multidimensi. Ia tidak hanya berkaitan dengan indera pengecap, tetapi juga dengan memori, tradisi, dan identitas budaya. Di Eropa, preferensi rasa lebih banyak dibentuk oleh pola sosial dan kebiasaan keluarga, sementara di Asia, pengalaman kuliner yang intens sejak kecil dapat membentuk sensitivitas lidah secara berbeda. Globalisasi makanan memang memperluas wawasan cita rasa, namun tidak menghapus ciri khas lokal yang menjadi bagian dari keunikan setiap budaya.
Implikasi bagi Industri Makanan
Bagi industri makanan dan minuman internasional, temuan-temuan ini menjadi bahan refleksi penting. Dalam era ketika produk kuliner lintas benua semakin mudah ditemukan, memahami selera lokal bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan. Misalnya, produk yang sukses di pasar Eropa dengan cita rasa lembut mungkin perlu penyesuaian signifikan sebelum dipasarkan di Asia yang lebih menyukai rasa kuat dan pedas. Sebaliknya, restoran Asia yang ingin menembus pasar Barat harus menyeimbangkan intensitas rasa agar lebih mudah diterima.
Kesimpulan
Pada akhirnya, penelitian-penelitian ini menegaskan bahwa di balik setiap piring makanan terdapat kisah panjang tentang bagaimana manusia beradaptasi, membentuk budaya, dan mengekspresikan identitas melalui rasa. Seperti kata pepatah lama, “kita adalah apa yang kita makan” dan kini sains pun membuktikan bahwa apa yang kita makan ternyata juga membentuk siapa kita sebagai bagian dari budaya yang lebih luas.