Bersyukur, Anak Muda (Masih) Mau Belajar Jurnalistik

Sebagian buku karya Y.B. Margantoro di bidang jurnalistik dan kepenulisan sejak tahun 1994 – 2024. (Foto : Humas Mitra Mekar Berkarya).

bernasnews – Beberapa hari yang lalu penulis mendapat pesan dari seorang sahabat lama yang menjadi dosen di sebuah perguruan tinggi swasta (PTS) di Yogyakarta. Dia menyatakan mahasiswanya ingin mendapat pengetahuan tentang jurnalistik dasar dan kepenulisan. Mahasiswa dia dari program studi (prodi) manajemen semester tiga.

Pada minggu keempat Oktober 2024, sudah diagendakan sejumlah pemustaka muda di sebuah perpustakaan kelurahan di wilayah Kabupaten Sleman akan belajar bersama tentang jurnalistik dan kepenulisan. Menurut kepala urusan tata laksana di kelurahan itu, pihaknya akan mulai membenahi layanan dan kegiatan perpustakaan dengan membekali anak-anak muda tentang jurnalistik dan kepenulisan. Tujuannya supaya mereka sadar media dan sadar literasi.

Sebelumnya, sudah berlangsung dua tahun ini, sebuah sekolah dasar di Yogyakarta melaksanakan program wartawan cilik (warcil). Para siswa kelas enam itu dibimbing ilmu jurnalistik terlebih dulu dan kemudian ditugaskan mewawancarai pejabat publik. Karya wawancara itu kemudian dibukukan. Program ini menjadi agenda tahunan.

Tiga contoh faktual tersebut kiranya memberikan secercah kegembiraan dan harapan bagi keberlanjutan ilmu jurnalistik, media massa, dan kepenulisan khususnya bagi kalangan anak-muda. Anak muda di mana pun merupakan masa depan bangsa, Negara dan peradaban. Secara umum dikatakan bahwa jurnalistik adalah kegiatan mencari, mengolah, menulis dan menyebarluaskan informasi kepada publik melalui media massa. Kalau anak-anak muda suka jurnalistik maka diharapkan masa depan ilmu komunikasi beserta aksi dan karyanya pun terbuka lebar.

Ada beberapa kemampuan yang harus dikuasasi oleh mahasiswa jurusan jurnalistik dan atau mereka yang tertarik menekuni bidang ini. Kemampuan itu antara lain kemampuan membaca, kemampuan menulis, kemampuan komunikasi, kemampuan observasi, kemampuan memahami fenomena sosial, kemampuan analisis, kemampuan kritis dan kreatif, serta kemampuan menguasai teknologi informasi dan komunikasi.

Tentu dalam kenyataan, setiap adanya kekuatan pasti ada sisi kelemahan. Kemudian ada sisi peluang, pun juga ada sisi ancaman. Dalam ranah kepenulisan khususnya dan pendidikan umumnya, satu hal sederhana namun mendasar adalah kemauan dan kemampuan membaca setiap insan, khususnya dimulai anak-anak, remaja, dan pemuda.

Banyak riset (dan kenyataan di lapangan) yang menyatakan bahwa kemampuan membaca kita masih rendah. Solusinya tentu saja setiap insan harus sadar dan beraksi nyata untuk melawan kemalasan membaca. Program mendorong gemar membaca dari para pihak memang diharapkan, namun yang paling hakiki adalah motivasi dari dalam kita masing-masing.

Di luar itu, ancaman yang tidak dapat diabaikan saat ini yakni adanya kecerdasan buatan (Artificial Intelligence atau AI) yang terus berkembang sebagai wujud kemajuan era teknologi. Banyak hal dan sektor kehidupan telah dipengaruhi oleh AI. Pengaruh itu juga melanda sektor jurnalistik dan kepenulisan. Banyak pihak yang mempertanyakan apakah nilai-nilai jurnalistik masih dapat dipertahankan. Bahkan lebih spesifik lagi, apakah jurnalis masih dibutuhkan peranannya, dan sejauh mana relevansinya.

Jawaban atas masalah itu, jurnalis universal mengacu kepada 10 elemen jurnalisme menurut Bill Kovach dan Tom Rosenstiel. Kesepuluh elemen itu adalah jurnalisme wajib menyajikan kebenaran, loyalitas jurnalis kepada masyarakat, jurnalisme melakukan verifikasi, wartawan harus independen, jurnalisme memantau kekuasaan, jurnalisme sebagai forum publik, jurnalisne harus memikat dan relevan, berita harus proporsional dan komprehensif, mendengarkan hati nurani, serta hak dan kewajihan terhadap berita.

Penulis sebagai praktisi media dan literasi mencoba terus belajar dan menyesuaikan diri dalam dinamika kehidupan khususnya di bidang kemassmediaan. Ini tentu bukan perkara mudah karena sisi teknologi informasi komunikasi berkembang pesat. Banyak anak muda yang lebih hebat dalam hal ini. Dalam kenyataan, pun masih ada tantangan dan hambatan lain yang menghadang.

Dari sisi “rekam jejak” karya, penulis berusaha untuk mendokumentasikan dalam bentuk buku. Mulai karya sebagai editor sampai penulis dan atau sebaliknya. Sejak tahun 1994 sampai 2024, dalam kurun waktu 30 tahun, telah tercipta sekitar 20 buku seputar jurnalistik, kewartawanan, kepenulisan.

Buku bertajuk “Di Balik Tugas Kuli Tinta” adalah buku perdana penulis di bidang jurnalistik bersama FX Koesworo (alm) dan Ronnie S. Viko (Sebelas Maret University Press dan Yayasan Pustaka Nusatama, 1994). Buku ini sempat didiskusikan di kampus UNS dan diresensi beberapa media. Buku yang telah berusia 30 tahun itu masih bermanfaat untuk berproses bersama kaum muda. Kemudian lahir buku-buku solo penulis dari penerbit berbeda.

Buku-buku tentang jurnalistik baik karya diri sendiri, karya bersama, maupun karya penulis lain, penting bagi penulis untuk kegiatan belajar dan mengajar bersama. Pengalaman empiris, gagasan dan harapan penulis penting untuk dibukukan sebagai warisan bagi generasi penerus. Kaum muda sendiri juga harus tergerak untuk berkarya sesuai dengan minat dan kemampuan masing-masing.

Buku bagi wartawan, sebagaimana pernah disampaikan oleh seorang wartawan senior (alm), adalah mahkota wartawan. Semoga profesi lain juga memiliki prinsip yang sama agar banyak gagasan menarik dan penting dimonumentalkan dalam bentuk buku. Setiap buku tentu ada pembacanya dan setiap pembaca butuh buku. Semoga dinamika perbukuan di tanah air, antara lain bidang jurnalistik, semakin semarak dan bermakna. (Y.B. Margantoro, Wartawan dan Pegiat Literasi)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *