bernasnews – Yogyakarta dikenal sebagai salah satu pusat seni dan kebudayaan yang menonjol di Indonesia. Para seniman, khususnya sastrawan, yang pernah dan atau masih bergulat di kota ini, dinilai memiliki pengaruh kuat dalam kehidupan dan perkembangan sastra di Indonesia hingga saat ini.
Para seniman Yogyakarta, tidak saja berkiprah di kota sendiri, tapi juga mampu tampil di tingkat nasional dan internasional. Para seniman, yang pernah bergulat dalam seni-budaya untuk sementara waktu – saat studi – di Yogyakarta dan ketika kembali ke daerah asal, mampu berperan sebagai inisiator atau pelopor dalam menghidupkan dan mengembangkan kesenian di wilayahnya.
“Yogyakarta sebagai daerah istimewa, memang benar-benar istimewa. Kendati tidak memiliki wilayah yang luas, berbagai Lembaga Pendidikan hidup dan berkembang, dengan para mahasiswa berasal dari berbagai wilayah Indonesia. Karena itulah Yogyakarta dikenal pula sebagai Kota Pendidikan dan mendapat sebutan sebagai miniatur Indonesia,” kata Sigit Sugito dari Institut Kahade kepada bernasnews, Rabu (7/8/2024)
Berkenaan dengan dinamika kepenulisan, khususnya dalam rangka mengenang kelahiran Presiden Malioboro Umbu Landu Paranggi, akan diadakan Ngobrol SUMBU dan UMBU dan baca puisi di Ruang Audio Visual Yogya Library, Jalan Malioboro, Yogyakarta, Jumat (9/8/2024) pukul 14.00 – 17.00 WIB.
Sastrawan Malioboro
Menurut Sigit Sugito, di Yogyakarta sejak tahun 1940-an telah tumbuh berbagai sanggar ataupun kelompok kesenian yang berbasis di luar kampus dan di dalam kampus. Ada masa, di ratusan kampung bertumbuhan kelompok-kelompok kesenian. Kehidupan kesenian ditopang pula adanya berbagai media
yang terbit di Yogyakarta berupa majalah dan koran – yang pada masa lalu – hal semacam hanya terjadi di kota-kota besar, dan juga banyaknya penerbit-penerbit di Yogyakarta yang memiliki perhatian terhadap kehidupan seni-budaya.
Malioboro, sebagai salah satu ikon Yogyakarta, erat pula dengan kehidupan dan perkembangan seni budaya, termasuk sastra. Di tahun 1950-an dikenal “Sastrawan Malioboro” untuk menyebut orang-orang yang kerap hadir, berdialog dan berdiskusi ataupun mempresentasikan karya-karyanya di beberapa ruas jalan Malioboro.
Kemudian di akhir tahun 1960-an hingga awal tahun 1970-an dikenal pula Persada Studi Klub (PSK) sebagai kelompok yang berperan besar untuk memunculkan para penyair, yang tidak terbatas dari Yogyakarta saja, melainkan dari berbagai wilayah di Indonesia. Umbu Landu Paranggi sebagai tokoh utamanya, yang beberapa waktu meninggal dunia, diberi sebutan sebagai Presiden Malioboro. Dua gambaran tersebut, tanpa mengabaikan peran dari berbagai contoh tersebut, menjadi dasar ditasbihkannya Yogyakarta sebagai ibukota sastra atau penyair.
Pergantian masa, proses re-generasi terus berlangsung, dan interaksi lintas generasi masih terjalin hingga saat ini. Tercatat puluhan atau bahkan ratusan ribu orang telah menjalani proses kreatif dan memberikan sumbangan bagi perkembangan sastra Yogyakarta dan sastra Indonesia.
Kusumpegan di atas tumpang tindih berbagai kepentingan ekonomi dan nilai-nilai saling bertabrakan. Untuk itu, Koperasi Seniman dan Budayawan Yogyakarta bersama Rumah Sastra Evi Idawati, Baleseni Condroradono dan Institut Kahade sebagai masyarakat sastra Yogyakarta akan menyelenggarakan sebuah acara sastra.
“Acara itu adalah mengenang Umbu Landu Paranggi yang ditasbihkan sebagai Presiden Malioboro sekaligus meneguhkan kawasan Malioboro sebagai sumbu filosofis yang sudah diakui oleh UNESCO, pada hari Jumat, 9 Agustus 2024 di Yogya Library Yogyakarta.
Bersama para tokoh antara lain Soeparno S Adhy sahabat Umbu Landu Paranggi sekaligus pendiri Persada Studi Klub, Rommy Heryanto, penggerak kebudayaan Yogya Semesta, Evi Idawati penyair perempuan, Priyo Salim enterprenur perak budayawan Kotagede, Yuda Wirajaya penyair disabilitas mahasiswa ISI Yogyakarta dengan moderator Sarwanto H Swarso, Youtuber Yogyakarta,” kata Sigit Sugito. (*/mar)