bernasnews — Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada (UGM) kembali menyelenggarakan Diskusi Komunikasi Mahasiswa (DISKOMA). Kegiatan dengan tema “Menjadi Seorang Intelektual: Integritas danTanggung Jawab Keilmuan”, dilaksanakan secara virtual, Jumat (17/5/2024).
DISKOMA yang telah memasuki edisi ke-13 ini, menghadirkan nara sumber Mariessa Giswandhani, Dosen dan Education Content Creators; Ahmad Effendi, Reporter Mojok.co, serta Albertus Fani Prasetyawan, Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi.
Pada dasarnya, riset atau penelitian telah menjadi hal fundamental dalam kehidupan manusia. Albertus Fani Prasetyawan yang akrab disapa sebagai Al mencoba memaparkan fakta ini lewat pemikiran Plato atas bagian jiwa manusia, yang terdiri dari Epithumia yakni hasrat keinginan dan maksud.
“Thumos yang berarti semangat keberania dan juga daya juang, serta Logisticon yang mendorong pada pencarian kebenaran dan pengetahuan. Refleksi dari ketiga hal ini tertuang dalam sebuah proses penelitian atau riset,” ucap dia.
Menurut penjelasan Al yang telah berpengalaman membawa risetnya hingga taraf konferensi internasional yang cukup bergengsi, menyatakan, bahwa dalam tahapan publikasi ilmiah juga kemudian tak lepas dari proses pencarian dan pemeriksaan kredibilitas latarbelakang jurnal yang dituju.
Salah satu problematika terkait publikasi di Indonesia umum disebabkan oleh kebijakan menteri terkait riset dan publikasi yang menjadikan karya ilmiah sebagai suatu komoditas bagi institusi dan akademisi.
Hal inilah, yang kemudian Ahmad Effendi coba paparkan sebagai penulis sekaligus jurnalis yang juga memiliki perhatian terhadap integritas keilmuan, khususnya terkait pertanyaan atas siapa yang salah dan rugi dengan adanya kecurangan publikasi riset akademis.
“Data retraksi jurnal dari penulis Indonesia kian meningkat selama 5 tahun terakhir. Hal ini berkaitan dengan fakta bahwa maraknya praktik-praktik seperti jurnal predator, joki jurnal, serta plagiator telah menjadi tradisi yang sistemis. Setidaknya dana sebanyak 10 miliar rupiah telah dihabiskan untuk membiayai publikasi yang bermasalah selama pandemi,” papar dia.
Selain itu, Effendi juga mengungkap publikasi jurnal bermasalah pada akhirnya hanya menciptakan pseudo-data bagi para pengambil kebijakan. Lebih jauh dampak terburuknya dirasakan oleh masyarakat akar rumput.
Pernyataan ini didukung oleh Mariessa Giswandhani dari perspektif akademisi yang menjelaskan hubungan antara regulasi dan realisasi publikasi ilmiah. Ia pun mengakui bahwa pelanggaran-pelanggaran akademis di Indonesia memang kian menjamur dan sebenarnya telah lama ada.
“Pelanggaran ini semakin diperburuk sejak adanya tuntutan publikasi di kalangan mahasiswa S2 yang menjadi salah satu faktor berpengaruh atas praktik-praktik tersebut,” ungkap dia.
Dikatakan Mariessa Giswandhani, bahwa jenis-jenis pelanggaran Karya Ilmiah dapat ditemukan dalam bentuk fabrikasi, falsifikasi, plagiasi, missatribusi, kepentingan, serta submisi ganda. Dia juga menyayangkan luputnya pemerintah atas tekanan, edukasi terkait etika, serta minimnya pengawasan publikasi ilmiah di Indonesia.
Diskusi virtual ini ditutup dengan pertukaran ide dan perspektif dan beragam peserta dari berbagai latar belakang. Peran perkembangan teknologi seperti artificial intelligent (AI) dan algoritma juga turut disinggung terkait fenomena yang terjadi dalam lingkungan publikasi di Indonesia.
Dr. Rahayu, M.Si. selaku kepala Prodi Magister Ilmu Komunikasi mengungkapkan, bahwa dengan adanya pertukaran pandangan dan diskusi kali ini diharap dapat memberi jawaban atas bagaimana mestinya integritas keilmuan bisa dilihat. (*/ nun)