bernasnews — Tangan Rafa Kusuma Atma Wibowo lincah memainkan wayang kulit di depan pakeliran (layar). Layaknya dalang profesional Rafa dapat memainkan wayang dengan sempurna. Cuplikan adegan cerita Durna Gugur dibawakan dengan baik dalam Festival Dalang Cilik Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Tahun 2024, bertempat di Krapyak IX Margoagung Seyegan Sleman sebagai special performance.
Hebatnya, Rafa adalah sosok penyandang down syndrome. Down Syndrom atau Sindrom Down adalah kondisi yang menyebabkan anak dilahirkan dengan kromosom yang berlebih atau kromosom ke-21. Gangguan ini disebut juga dengn trisomi 21 dan dapat menyebabkan seorang anak mengalami keterlambatan dalam perkembangan fisik dan mental bahkan kecacatan, dikutip dari laman halodoc.com.
Putra pasangan Ludy Bimasena dan Sri Wahyuni tersebut mulai menyukai wayang sejak usia 3 tahun saat orang tuanya membelikan compact disc wayang yang diambil per scene. Pasalnya anak down sydrome tidak bisa melihat video dalam waktu lama. Pilihan videonya yang atraktif seperti tancep kayon, perang kembang perang antara kasatria dengan raksasa (Cakil) dan sebagainya.
Ludy Bimasena mengungkapkan, bahwa sebagai orang tua memilihkan wayang lantaran sebagai penyandang down sydrome Rafa tidak bisa memilihnya sendiri. “Sebagai kultur orang Jawa kami ingin Rafa punya kelebihan, karena penyandang down sydrome adalah peniru yang hebat. Kebetulan juga Rafa menyukai wayang karena sering melihat video,” ujar Ludy, di sela-sela mendampingi Rafa, Selasa (14/5/2024).
Menurut Ludy, pemilihan budaya Jawa berupa wayang lantaran bisa melatih motorik kasar dan halus, sinkronisasi pendengaran dan juga olah rasa. Diungkapkan Ludy, bahwa anak down syndrome mengalami kesulitan bicara dan harapannya dengan memainkan wayang dapat stimulasi untuk terpicu berbicara, sehingga wayang dapat menjadi media terapi bagi anak down syndrome.
Siswa kelas VIII SLB Negeri Pembina Yogyakarta tersebut mampu menirukan gerakan dalang profesional sesuai aslinya. “Motorik kasarnya sangat bagus, untuk memutar memainkan gunungan (kekayon) sudah baik dimana tidak setiap anak bisa melakukannya,” terang Ludy.
“Perkembangan tersebut karena musik gamelan dapat untuk olah rasa dan menghaluskan perasaan agar tidak emosional,” imbuhnya.
Rafa belajar wayang secara otodidak melalui video wayang yang disediakan oleh orang tuanya. Sri Wahyuni menambahkan, bahwa sejak kecil ada terapi untuk anak down syndrome karena memiliki keterbatasan berkomunikasi. “PR-nya banyak sekali seperti melatih bicara, melatih ototnya, sehingga sejak kecil perlu pembiasaan,” terang ibunda Rafa.
“Penyandang down syndrome kecerdasannya di bawah rata-rata, maka anak down syndrome tidak mampu didik tapi mampu dilatih, sehingga dengan bermain wayang Rafa akan terus berlatih,” tandas Sri Wahyuni.
Rafa Kusuma Atma Wibowo pentas wayang telah beberapa kali, pertama kali tampil mendalang saat ulang tahun SLB Negeri Pembina. Kedua kalinya pada acara Wayang Cakruk Dinas Sosial DIY. Pada tahun ini tampil sebagai special performance dalam Festival Dalang Cilik UNY 2024.
Keinginan Ludy Bimasena dan Sri Wahyuni, bahwa anak difabel pun dapat diakomodasi untuk tampil karena mereka punya kemampuan untuk itu. Ludy berharap wayang kulit dapat sebagai media terapi sepanjang hayat bagi penderita down sydrome, termasuk bagi akademisi agar bisa meneliti hal ini lebih lanjut.
“Seni budaya adalah hak setiap orang, walaupun punya keterbatasan down sydrome juga punya hak untuk berkesenian dan berkebudayaan,” harap Ludy.
Sementara itu, Ketua Pelaksana FDC UNY 2024 Dr. Agus Murdiyastomo menyatakan, apabila ada anak yang berbakat dan layak tampil namun menyandang disabilitas akan berusaha untuk dilayani dalam rangka pengembangan ketrampilan mereka. “Pengembangan ketrampilan motorik dan perkembangan mentalnya itu penting bagi mereka,” ucap Agus. (*/ted)