bernasnews — Setiap tanggal 2 Mei, bangsa Indonesia selalu merayakan hari Pendidikan Nasional. Penetapan Hardiknas sebagai hari nasional tertuang di dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 316 Tahun 1959 Tanggal 16 Desember 1959. Tanggal 2 Mei diambil dari tanggal kelahiran tokoh pendidikan nasional Ki Hajar Dewantara.
Dalam biografinya Ki Hadjar Dewantara lahir pada 2 Mei tahun 1889 dari keluarga bangsawan Yogyakarta. Momentum perayaan hari Pendidikan Nasional selalu menjadi refleksi bagi kita bangsa Indonesia, apakah tujuan pendidikan yang digagas oleh Ki Hajar Dewantara dan tujuan pendidikan nasional sudahkah sesuai harapan?
Salah satu tujuan pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara, adalah membentuk peserta didik menjadi pribadi yang mandiri dan dewasa. Sedangkan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3 Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri.
Dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Sedangkan fungsi pendidikan adalah menghilangkan segala sumber penderitaan rakyat dari kebodohan dan ketertinggalan serta fungsi pendidikan Indonesia menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Dari fungsi yang diurakan tersebut menunjukan bahwa pendidikan nasional Indonesi lebih mengedepankan akan pembangunan sikap, karakater, dan transpormasi nilai-nilai filosofis negara Indonesia.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), salah satu arti kata dewasa adalah matang (tentang pikiran, pandangan, dan sebagainya), contohnya cara berpikirnya sudah dewasa. Sedangkan menurut psikologi ciri – ciri dewasa antara lain: 1).Berusaha menyelesaikan masalah, yaitu seseorang berusaha untuk menyelesaikan suatu permasalahan secara matang, mempertimbangkan baik dan buruknya akibat dari solusi yang diambil, dan bukan tergesa-gesa untuk menghindari timbulnya masalah serupa di kemudian hari.
2) Emosi Stabil, orang yang memiliki emosi stabil umumnya akan lebih mudah dalam menempatkan diri di lingkungan manapun serta bisa bersikap professional. 3) Memikirkan masa depan, seorang yang dewasa mulai memikirkan masa depan secara matang, menentukan tujuan dan target hidup dan cara untuk mencapainya,
4) Lebih serius dalam hubungan, seseorang cenderung lebih serius dan tidak main-main dalam menjalani hubungan, dirinya sadar bahwa hubungan adalah tentang cara menyatukan pemikiran antara dua orang, dan suatu hubungan yang serius perlu adanya komitmen. Dalam tulisan ini penulis mengajak untuk merefleksikan apakah tujuan Pendidikan saat ini sudah dapat mencapai peserta didik menjadi pribadi yang dewasa?
Lalu bagaimana sekolah dapat mendapatkan data bahwa tujuan Pendidikan sudah mencapai tujuan sesuai dengan harapan? Salah satunya bisa diperoleh dari Rapor Pendidikan, yang merupakan hasil dari Asesmen Nasional. Asesmen Nasional adalah program penilaian terhadap mutu setiap sekolah, madrasah, dan program kesetaraan pada jenjang dasar dan menengah.
Mutu satuan pendidikan dinilai berdasarkan hasil belajar murid yang mendasar (literasi, numerasi, dan karakter) serta kualitas proses belajar-mengajar dan iklim satuan pendidikan yang mendukung pembelajaran. Informasi-informasi tersebut diperoleh dari tiga instrumen utama, yaitu Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), Survei Karakter, dan Survei Lingkungan Belajar. Secara khusus kita akan cermati data survei karakter yang ada dalam rapor pendidikan.
Dalam Rapor Pendidikan, indikator karakter meliputi: Beriman, Bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, dan Berakhlak Mulia, Gotong Royong, Kreativitas, Nalar Kritis, Kebhinekaan Global, dan Kemandirian. Indikator karakter tersebut dirumuskan menjadi Profil Pelajar Pancasila sesuai Visi dan Misi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagaimana tertuang dalam dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 22 Tahun 2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2020-2024.
Sementara dalam Rapor Pendidikan capaian yang diperoleh sekolah penulis adalah baik. Artinya peserta didik terbiasa menerapkan nilai-nilai karakter pelajar Pancasila yang berakhlak mulia, bergotong royong, mandiri, kreatif dan bernalar kritis serta berkebhinekaan global dalam kehidupan sehari hari. Sejujurnya capaian indikator baik ini masih menjadi pertanyaan bagi penulis, apakah ini sudah bisa menggambarkan karakter seluruh siswa dan juga bisa menjadi indikator bahwa tujuan pendidikan sudah tercapai sesuai harapan?
Keraguan penulis terhadap capaian ini bisa dilihat dari kenyataan yang terjadi dalam proses pembelajaran, Asesmen Sumatif Akhir Semester (ASAS), penilaian sumatif akhir tahun (PSAT), Penilaian Sumatif Akhir Jenjang (PSAJ) bagi para siswa kelas XII, dan perilaku peserta didik setiap hari. Dalam proses pembelajaran, penilaian, maupun kegiatan sehari – hari apakah peserta didik sudah mencerminkan pribadi yang mandiri dan dewasa?
Beberapa faktor yang menjadi keprihatian dan menjadi refleksi bagi penulis antara lain: 1). Kurang efektifnya pelaksanaan pembelajaran yang menyenangkan sesuai dengan Kurikulum Merdeka, salah satu faktor yang menyebabkan adalah keterbatasan sekolah dan guru dalam melaksanakan asesmen diagnostik untuk mengidentifikasi kompetensi, kekuatan, kelemahan siswa, sehingga pembelajaran dapat dirancang sesuai dengan kompetensi dan kondisi siswa. Dengan keterbasan ini sebagian besar guru masih melaksanakan pembelajaran secara klasikal. Di sisi lain sikap kemandirian siswa juga masih jauh dari harapan. Sebagai contoh ketika penulis mengajar, bertanya apakah anak – anak belajar tadi malam? Hampir seluruh siswa tidak belajar. Hal seperti ini menjadi dilema bagi guru bagaimana memberi sanksi.
2) Menurunya semangat pembelajaran baik guru maupun peserta didik dalam mempersiapkan kegiatan penilaian khususnya pada Penilaian Sumatif Akhir Jenjang (PSAJ), hal ini disebabkan tidak adanya standar nasional yang harus dicapai sebagai syarat kelulusan. Hal ini berbeda jauh ketika masih dilaksanakan Ujian Nasional yang digunakan untuk pemetaan mutu program pendidikan dan/atau satuan pendidikan, pertimbangan seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya, dan dasar pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan untuk pemerataan dan peningkatan mutu pendidikan, seluruh komponen sekolah mempersiapkan sebaik – baiknya, agar dapat mencapai standar minimal yang ditetapkan.
3) Menurunnya budaya peka, salah satu indikator karakter peserta didik adalah kepekaan peserta didik terhadap lingkungan. Untuk menanamkan budaya peka bagi peserta didik menjadi sesuatu yang tidak mudah dilakukan. Meskipun sekolah telah menamkan kepada siswa di sekolah, namun dukungan lingkungan keluarga maupun masyarakat juga sangat berpengaruh. Sebagai contoh ketika anak bermain HP, mereka tidak peduli dengan apa yang terjadi di lingkungannnya.
4) Menurunnya budaya maaf, tolong, terima kasih. Meskipun gerakan ini telah dilakukan sekolah dengan berbagai cara, namun hasilnya belum terlalu signifikan. Masih sering terjadi pada siswa, khusunya minta maaf sulit dilaksanakan, perasaan ego dan kurang rendah hati para peserta lebih menonjol. Rasa hormat dan kepedulian terhadap orang lain masih sangat kurang.
Tulisan ini hanya pendapat pribadi sebagai refleksi, tidak mewakili siapapun. Semoga para pendidik dan peserta didik selalu berproses menuju yang lebih baik sehingga perkembangan pendidikan di Indonesia terus menunjukkan progres yang signifikan, mencapai tujuan pendidikan yang dicanangkan Ki Hajar Dewantara, membentuk peserta didik menjadi pribadi yang mandiri dan dewasa. Selamat Hari Pendidikan Nasional: “Bergerak Bersama, Lanjutkan Merdeka Belajar”. (Yohanes Sudarna, S.Pd. MM, Kepala SMK Marsudirini St. Fransiskus Semarang)