bernasnews — Di era 70 an saat kita mengenang dan memperingati hari lahirnya RA Kartini, serasa dan terasa gaung kegembiraan untuk menyambutnya. Juga tidak kalah penting para wanitanya memakai kain kebaya. Akan tetapi pemandangan seperti ini sekarang tidak sama kondisinya, mungkin sangat jarang kaum putri atau wanita memakai kain kebaya untuk kesehariannya, bahkan saat menghadiri pesta pernikahan dan acara lain pun sudah jarang kita jumpai para wanita berkebaya.
Bila kita menengok perjalanan hidup RA Kartini, tidak sedikit orang yang kagum dengan sosok Kartini, sebab wanita yang satu ini memang memiliki banyak sekali pandangan baru terhadap peran wanita pada masa kolonial. Maka dalam mengenang perjuangan Raden Ajeng Kartini yang lahir di Mayong, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah pada tanggal 21 April 1879 dan meninggal dunia pada tanggal 17 September 1904, kiranya dapat kita refleksikan bersama atas segala jasanya dalam memajukan kaum perempuan Indonesia.
Kartini merupakan putra kelima dan putri kedua dari Bupati Jepara (Alm) Raden Mas Adipati Ario Samingun Sosroningrat. Kartini hidup dalam lingkungan bangsawan feodal tinggi yang sesungguhnya tidak sesuai, bahkan bertentangan dengan cita-citanya yang luhur dan demokratis. Pada sisi lain ada suatu keistimewaan bahwa Kartini diperbolehkan masuk sekolah dasar Belanda (Europeesche Lagere School) yang ada di Jepara. Di sekolah tersebut Kartini mendapat banyak teman-teman anak Belanda dan berkenalan dengan alam pikiran dan alam hidup Barat.
Sosok Kartini tergolong wanita yang sangat cerdas, sehingga setelah tamat SD berkeinginan melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi di Semarang atau Batavia atau Negeri Belanda, namun ditentang oleh ayahandanya. Kini 120 tahun sudah Kartini meninggalkan kita semua untuk selamanya, namun jasa besarnya tidak dapat kita lupakan bahwa Kartini adalah seorang perempuan patriot, perintis kamajuan, pembangkit rasa dan semangat kebangsaan, pejuang martabat bangsa, khususnya kaum wanita Indonesia.
Semangat Kartini yang tanpa mengenal lelah untuk terus memperjuangkan kemajuan kaum perempuan, ternyata Tuhan menghendaki lain. Kurang lebih satu tahun setelah menikah dan lima hari sesudah melahirkan putranya yang pertama, Kartini di panggil ke hadirat Yang Maha Kuasa pada tanggal, 17 September 1904. Memang tidak banyak perjuangan yang telah dilakukan oleh Kartini, hanya sekelumit kecil dibandingkan dengan keseluruhan cita-citanya yang bersih dan luhur itu. Akan tetapi karya tulisan terbingkai dalam buku berjudul “Door duisternis tot licht” (1911) oleh Balai Pustaka diberi judul “Habis Gelap Terbitlah Terang” tentu kita semua tidak dapat melupakan jasa Kartini (Ensiklopedi Umum, 1986).
Kini, Kartini telah meninggalkan dunia fana dalam usia remaja, yakni 25 tahun. Namun di saat usia yang masih muda itu, pada tanggal 2 Mei 1964 RA. Kartini telah ditetapkan sebagai perempuan pertama Indonesia yang mendapat gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Ini berarti bahwa RA. Kartini telah memperoleh pengakuan atas kiprahnya yang begitu besar bagi kaum perempuan Indonesia.
Lebih-lebih RA. Kartini senantiasa konsisten dengan memakai kebaya dalam kesehariannya dan tentu ini baik untuk terus dilestarikan dan baik adanya bisa dipakai pada lingkungan kerja masing-masing instansi swata atau pemerintah. Sekaligus untuk terus memperkenalkan budaya pakaian Indonesia, walaupun zaman sekarang penuh dengan kemajuan fashion dan peradaban.
Mengingat perjuangan RA. Kartini yang begitu besar terhadap kaumnya, maka setiap hari kelahirannya yang bertepatan dengan tanggal 21 April selalu masih dikenang dan diperingati sampai saat ini, walaupun tidak semarak seperti dahulu. Hanya saja wujud dan rasa kebanggaan dalam rangka memperingati hari lahirnya RA. Kartini masa lalu dengan saat ini sangatlah berbeda. Misalnya, peringatan sudah dikemas melalui CFD (Car Free Day) Kartinian di berbagai tempat atau lingkungan yang strategis dan sejenisnya.
Di saat kita masih kecil, kita dapat menyaksikan perayaan Kartini dengan suasana hingar bingar, lucu dan ceria dari anak-anak perempuan khususnya yang berjalan kaki dengan berbaris, naik sepeda, naik becak atau kereta kuda (andong) dengan hiasan warna-warni yang meriah. Para ibu-ibu pun tidak ketinggalan, mereka semua dengan rela dan bangga berpartispasi sambil menggunakan pakaian berkebaya, pakaian adat dari bermacam-macam provinsi yang ada di Indonesia, serta alunan lagu “Ibu Kartini” pun mengalun merdu di setiap sekolah, lembaga pemerintah maupun lembaga swasta.
Mengingat begitu besar jasa dan nilai-nilai perjuangan Kartini yang telah dipersembahkan bagi bangsa Indonesia, khususnya bagi kaum wanita yang tidak hanya bekerja di dapur, tetapi harus mempunyai ilmu, pengetahuan yang sejajar dengan kaum pria. Namun saat ini nampaknya makna untuk menyambut semangat Kartini perlu digaungkan kembali, tentu dengan pola yang disesuaikan dengan kondisi.
Bisa jadi, kurangnya antusias ini, menurut hemat penulis, karena suasana zaman dahulu dan zaman sekarang telah berubah secara dinamis, sebab adanya kekuatan pengaruh budaya lain yang lebih membawa suasana kebanggaan. Sebagai contoh, kaum remaja sekarang mulai cenderung memilih menantikan datangnya Valentine day ‘s untuk dirayakan, daripada menyambut datangnya hari Kartini.
Terlebih khusus bagi kaum remaja, hari kasih sayang yang bertepatan dengan tanggal 14 Februari merupakan hari penantian panjang dengan penuh harap untuk segera tiba dan menyambutnya dengan suka ria. Budaya semacam ini memang terlahir bukan dari negara Asia, namun lahir dari budaya barat yang telah terbiasa, bahwa pada setiap tanggal 14 Februari mereka saling mencurahkan perhatiannya bagi orang-orang yang dicintai dan disayangi.
Oleh karena itu, peringatan Hari Kartini tahun 2024 ini, kita perlu memaknainya secara lebih mendalam, utamanya bisa menggaungkan Hari Kartini juga sebagai Hari Kebaya Nasional dan yang lebih esensial jika kita mampu memfokuskan pada peningkatan motivasi diri, mampu menujukkan adanya disiplin diri yang semakin baik dan mau menjalankan habitus baru dengan sepenuh hati di segala aspek kehidupan dan bekerja dengan lebih tekun atau bekerja secara cerdas. Baik cerdas secara intelektual, cerdas secara emosional maupun cerdas secara spiritual.
Cita-cita perjuangan Kartini pun telah terwujud, antara lain dapat kita lihat dari semakin bertambahnya kaum perempuan yang mampu meraih jenjang pendidikan tinggi dan mempunyai kedudukan yang sederajat dengan kaum laki-laki dalam pemerintahan. Misalnya, menjadi Presiden, Menteri, Gubernur, Walikota, Bupati, Camat, Kepala Desa atau Lurah, Kepala Sekolah :TK/PAUD, SD, SMP, SMA, SMK, dan juga ada yang menjadi Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri Maupun Perguruan Tinggi Swasta (menjadi: Rektor, Ketua, Direktur), menjadi Direktur Utama, Komisaris, Manajer dan sebagainya di tingkat perusahaan nasional maupun multi nasional.
Karena kecerdasannya maka tidak heran Kartini dijuluki “Kartini te vroeg geboren”, yang maknanya terlahir mendahului zamannya. Beberapa penghargaan yang telah diterima Kartini antara lain: Pahlawan Kemerdekaan yang ditetapkan pada tanggal 2 Mei 1964. Tanggal 21 April merupakan tanggal untuk memperingati hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini. Selamat menyambut Hari Kartini dan hari Kebaya Nasional 2024. (Drs Z. Bambang Darmadi, M.M, Instruktur Bersertifikasi BNSP dan Penulis Buku)