BERNASNEWS.COM – Kondisi ekonomi Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) sungguh sangat ironis. Di satu sisi, sebagai provinsi yang kaya raya setiap tahun Kaltim menyumbangkan Rp 400 triliun hasil kekayaan dari migas, batubara dan kelapa sawit ke pemerintah pusat, namun di sisi lain hampir tidak ada jalan yang bagus di Kaltim.
Selain itu, sejak tahun 2015 pertumbuhan ekonomi di Provinsi Kaltim selalu minus dan baru mulai tahun 2018 pertumbuhan ekonomi 3 persen lalu meningkat menjadi 5 persen pada tahun 2019. Dengan kondisi tersebut, pemindahan ibukota negara RI dari Jakarta ke Kalimantan Timur sebagai momen penting untuk membuat Kaltim bangkit.
“Kaltim merupakan provinsi kaya raya, namun apa yang terjadi yang namanya jalan bagus hanya ada di Balikpapan dan Samarinda. Karena itu, pemindahan ibukota RI dari Jakarta ke Kaltim merupakan momen yang tepat untuk membangkitkan Kaltim. Mungkin saatnya pemerataan pembangunan itu terjadi,” kata Ir Heru Cahyono, Ketua Lembaga Penyediaan Jasa Konstruksi (LPJK) Provinsi Kaltim, pada Diskusi Akhir Tahun (DAT) 2019 : Kajian Kritis Rencana Pemindahan Ibukota yang diadakan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan (FTSP) UII di Auditorium FTSP UII, Selasa (10/12/2019).
Menurut Heru Cahyono, dengan kondisi Kaltim yang sangat terbelakang itu maka masyarakat Kaltim pernah mengajukan otonomi khusus kepada pemerintah pusat, namun hingga saat ini tidak terwujud. Dan Kaltim selalu berjuang secara konstitusional untuk mewujudkan keinginan masyarakat.
“Selama 30 tahun lebih saya berada di sana, konflik sosial paling rendah di Kaltim. Yang dominan ada konflik terjadi di Kalbar dan Kalsel. Kaltim cuma 12 persen,” kata Heru Cahyono kelahiran Semarang, Jawa Tengah 60 tahun lalu.
Dengan adanya keputusan pemerintah untuk memindahkan ibukota negara ke Kaltim, menurut Heru Cahyono, seluruh stakeholder di Kaltim menyambut baik dan siap berpartisipasi untuk mewujudkannya.
Menurut Heru Cahyono, Kaltim memenuhi syarat atau kriteria untuk menjadi ibukota negara karena selain lokasinya yang lokasi strategis karena secara geografis berada di tengah wilayah Indonesia untuk merepresentasikan keadilan dan mendorong percepatan pengembangan wilayah KTI juga tersedia lahan luas milik pemerintah/BUMN Perkebunan untuk mengurangi biaya investasi.
Selain itu, bebas dari bencana gempa bumi, gunung berapi, tsunami, banjir, erosi serta kebakaran hutan dan lahan gambut. Kemudian tersedia sumber daya air yang cukup dan bebas pencemaran lingkungan, dekat dengan kota eksisting yang sudah berkembang untuk efisiensi investasi awal infrastruktur.
Menurut Heru Cahyono, akses mobilitas/logistik seperti bandara, pelabuhan dan jalan juga sangat memenuhi syarat. Selain itu, keetersediaan pelabuhan laut dalam sangat penting untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara maritim melalui konektivitas tol laut antar pulau.
Kemudian, tingkat layanan air minum, sanitasi, listrik dan jaringan komunikasi yang memadai untuk dikembangkan dan potensi konflik sosial rendah dan memiliki budaya terbuka terhadap pendatang serta memiliki dampak negatif minimal terhadap komunitas lokal.
Dekant FTSP UII Miftahul Fauziah ST MT PhD, DAT 2019 yang mengangkat tema pemindahan ibukota negara ini merupakan salah satu bentuk partisipasi FTSP UII untuk berkontribusi bagi bangsa dan negara dengan memberikan masukan untuk dijadikan pertimbangan.
Sebab hasil kajian melalui diskusi dari berbagai sisi mulai dari sisi lingkungan, ekonomi, sosial dan sebagainya itu akan disampaikan kepada pihak yang berkepentingan untuk dijadikan bahan pertimbangan. “Luaran dari DAT 2019 yang berisi pemaparan sejumlah kajian strategis yang bersifat taktis maupun akademis serta pernyataan setiap narasumber bisa menjadi landasan perumahan kebijakan dan pertimbangan dalam proses pemindahan ibukota RI yang baru,” kata Miftahul. (lip)