Guru Jangan Terjebak pada Rutinitas Kurikulum yang Silih Berganti

BERNASNEWS.COM – SD Islam Al Azhar 38 Bantul menggelar diskusi panel dalam rangka untuk upgrading guru dan karyawan dengan menghadirkan pakar pendidikan dan pendiri Sanggar Anak Alam (Salam), Sri Wahyaningsih, Senin (9/12/2019). Acara dengan fokus pada bagaimana meningkatkan peran guru dalam memfasilitasi murid menjadi generasi yang memiliki 3 kecerdasan yakni intelektual, sosial, dan spiritual.

Kehadiran Ibu Wahya, sapaan akrab Sri Wahyaningsih, ini untuk memberi materi seputar peran guru sebagai fasilitator pendidikan. “Kami ingin mendapat perspektif baru dalam mendidik anak. Selama ini kita terbiasa mengajar murid dalam gedung dan dalam bingkai kurikulum yang textbook. Kami ingin coba mencari masukan dari sosok yang terbiasa mengajar tanpa batasan tersebut,” ujar Alvin Haq, penggagas acara.

Salah satu panelis memaparkan materinya pada diskusi panel dalam rangka untuk upgrading guru dan karyawan, Senin (9/12/2019). Foto : Istimewa

Sosok Bu Wahya memang tidak asing di kalangan guru dan pendidik. Kiprahnya sebagai penggagas Sanggar Anak Alam (Salam) sebagai sekolah tanpa kurikulum, tanpa mata pelajaran, tanpa seragam, dan tanpa “guru” telah membuatnya menyabet sejumlah penghargaan.

Dalam kesempatan upgrading ini, Bu Wahya berbagi best practice dari pengalaman dalam mengelola Sanggar Anak Alam. Selain itu juga memberi masukan agar memaksimalkan potensi anak dengan menjadikan anak sebagai subyek dalam pendidikan.

“Kita tidak ingin terjebak dalam rutinitas kurikulum yang silih berganti itu. Kita punya kurikulum sendiri di mana anak sebagai subyek dan mahaguru bagi dirinya hingga dia mendapat pengetahuannya sendiri. Kita sebagai guru berfungsi sebagai pamong atau fasilitator,” ujarnya

Bu Wahya juga mengemukakan kembali teori tahapan pendidikan dari Ki Hajar Dewantara sebagai dasar dalam menyelenggarakan pendidikan. “Untuk anak SD usia 6-8 tahun berarti jangan sampai salah dalam menangani anak. Desainlah pendidikan sesuai tahapan tersebut. Jika dilarang untuk bergerak, berkotor-kotor, maka anak kehilangan sisi wirogo-nya,” ujarnya.

Saat peserta diskusi bertanya hal teknis mengenai ketiadaan seragam di sanggar yang ia kelola, Bu Wahya menjawab, “Ketiadaan seragam itu bukan waton suloyo. Namun menggiring kita agar punya pola pikir bahwa berbeda itu indah”.

Para panelis saat tampil dalam diskusi panel, Senin (9/12/2019). Foto : Istimewa

Sementara panelis lain, Ubaidilah, menambahkan bahwa Guru jangan sampai berhenti menjadi diktator. Hanya mendikte ilmu dan mengajak murid menirunya. Guru mestinya lebih berfungsi untuk menjadi fasilitator bukan diktator. Peran fasilitator juga tidak stagnan.  “Semakin bertambahnya usia anak, intervensi fasilitator harus semakin berkurang,” ujarnya.

Di akhir diskusi, para panelis mengajak peserta diskusi untuk menjadi fasilitator yang baik bagi anak-anak. Memperlakukan anak bukan sebagai obyek tetapi memfasilitasi mereka untuk mendapat pengetahuannya sendiri. (Miftakhur Risal, Humas SD Islam Al Azhar 38 Bantul)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *