News  

Perlu Informasi Alternatif yang Valid untuk Menangkal Hoax

BERNASNEWS.COM – Berita bohong atau hoax yang beradar di media sosial (medsos) sangat sulit dideteksi. Bahkan seorang profesor atau bahkan pemerintah sekalipun bisa menjadi penyebar hoax. Hal ini terjadi karena sulitnya membedakan mana berita yang benar atau valid dan mana berita bohong atau hoax. Karena itu, perlu ada informasi alternatif yang bisa digunakan untuk menangkal sekaligus meluruskan berita-berita hoax.

Dan saat ini Drone Emprit Academic (DEA) bisa menjadi salah satu alat atau sumber data/informasi bagi akademisi atau siapa pun untuk memberikan analisa yang netral agar hasil analisanya bisa menjadi informasi alternatif untuk menyikapi informasi yang sedang trend di masyarakat.

“Ketika komunitas sensitif terhadap isu-isu tertentu, akademisi melakukan analisa menggunakan DEA untuk memberikan narasi alternatif. Dan ketika narasi alternatif itu ada, maka masyarakat pun teredukasi. Mereka bisa memilih, mana yang masuk akal dan mana yang tidak masuk akal,” kata Fathul Wahid ST MSc PhD, Rektor UII, kepada wartawan usai membuka dan menyampaikan materi pada Seminar dan Workshop Drone Emprit Academic (DEA) di Kampus FFTI UII, Selasa (19/11/2019).

Fathul Wahid ST MSc PhD, Rektor UII, saat memberi keterangan kepada wartawan usai membuka dan menyampaikan materi pada Seminar dan Workshop Drone Emprit Academic (DEA) di Kampus FFTI UII, Selasa (19/11/2019). Foto : Philipus Jehamun/Bernasnews.com

Selain Fathul Wahid, tampil sebagai narasumber dalam seminar dan workshop yang diikuti 60 lembaga berbeda dari 36 perguruan tinggi di seluruh Indonesia itu adalah Ismail Fahmi PhD, Founder Drone Emprit and Drone Emprit Academic (DEA) dan Dr M Andri Setiawan, Head of BSI UII, Big Data and Cloud Provider of Drone Academic.

Seminar dan workshop DEA ini dilakukan untuk membesarkan komunitas yang bisa mengakses DEA. Karena dengan semakin banyak akademisi dari berbagai disiplin ilmu maka perspektifnya akan semakin beragam. “Dengan data yang sama, bisa didekati dengan banyak perspektif. Ada dari komunikasi, hubungan internasional, informatika bahkan dari agama,” kata Fathul Wahid.

Dikatakan, analisa berdasarkan data dari DEA dapat disajikan dan bisa mengedukasi publik karena tidak semua publik mempunyai akses ke DEA. Dengan demikian, tugas akademisi membantu mencerna, memahami, merefleksikan data yang membuat publik akan semakin enak memahaminya. “Itu tugas akademisi dan juga media yakni membantu bagaimana publik bisa mengakses hal yang nampaknya sulit menjadi mudah dibaca,” kata Fathul Wahid.

Fathul Wahid menambahkan bahwa pola pengolahan data seperti DEA, juga dapat diterapkan dalam pemerintahan. Pengolahan data tersebut dapat digunakan sebagai dasar dalam mengambil kebijakan dan menyusun program.

“Dua pekan lalu saya diundang asosiasi pemerintah kabupaten. Saya cerita bahwa data yang ibu bapak dapatkan dari publik, terkait dengan laporan masalah, komplain, pertanyaan dan lain-lain, itu bisa diolah lebih jauh. Bahkan bisa sampai menjadi kebijakan jangka panjang, menjadi program. Namun, ternyata belum ada yang memanfaatkannya,” kata Fathul Wahid.

Menurut Fathul Wahid, selama ini ada laporan listrik mati, ditindaklanjuti, dan laporan selesai. Atau ada laporan selokan mampet, ditindaklanjuti, lalu selesai. Namun ketika ada 10.000 laporan dari masyarakat, aparat pemerintah tidak mungkin membaca satu per satu, tapi membutuhkan waktu yang cukup lama.

“Kalau dibantu teknologi, akan terlihat pola besarnya, kan enak. Bisa dilihat apa yang saat ini menjadi perhatian publik. Tanpa dukungan teknologi, saya enggak yakin aparat pemerintahan punya waktu untuk membaca semuanya, apalagi mencernanya,” kata Fathul Wahid. (lip)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *