News  

Sosok Djaduk Ferianto di Mata Kerabat

Sejak Selasa pagi (13/11) suasana lingkungan Dusun Kembaran, Tamantirto, Kasihan, Bantul tampak sangat ramai dari hari-hari biasanya. Tepatnya di Padepokan Seni Bagong Kussudiarja tempat disemayamkan mendiang Gregorius Djaduk Ferianto atau Djaduk Ferianto yang tutup usia dini hari tadi pukul 02.30 WIB. Ia meninggal diumur 55 tahun akibat serangan jantung ketika berada di rumah. Beragam karangan bunga dari handai tolan turut menghiasi suasana duka di sepanjang jalan menuju lokasi persemayaman tersebut.

Tak sedikit para rekan seniman dan sahabat hadir untuk melayat sekaligus memberikan salam atau persembahan terakhir kepada Djaduk Ferianto. Kepergian Djadug sontak mengejutkan sejumlah pihak lantaran sebelumnya sang mendiang masih beraktivitas secara normal.

Mahesi, sesama seniman yang berasal dari Sanggar Bambu Yogyakarta, mula-mula mengaku tidak percaya bahwa Djaduk kini telah tiada. Ia justru menyangka kabar berpulang itu bukan menyasar pada Djaduk, tetapi dari salah satu keluarga besar sang mendiang.

“Setelah benar tahu yang meninggal Om Djaduk saya langsung kaget,” ceritanya di sela kediaman duka.

Papan bunga dan ucapan bela sungkawa atas meninggalnya Djaduk Ferianto. (Foto: KTJ)

Semasa Djaduk masih hidup, seniman muda ini mengatakan beliau adalah pribadi yang sangat baik. Kebaikan-kebaikan itu diterapkannya dalam ranah seni dan budaya.

“Intinya apapun yang dilakukan sangat total dengan lilo legowo,” tutur Mahesi.

Ia juga mengungkapkan tentang rekam jejak Djaduk yang selalu mengedapankan nilai-nilai kemananusiaan. Sebagaimana ia contohkan saat Djaduk menjadi sukarelawan untuk membantu para korban bencana alam.

“Di sana beliau membantu dengan menghibur para korban melalui metode-metodenya agar tidak terlarut dalam kesedihan,” kenangnya.

Sosok Djadug memang sangat akrab dengan dunia seni musik terutama kolaborasi permusikan tradisional dan modern. Selain tersohor sebagai seniman musik, ia juga dikenal sebagai seorang sutradara dalam pementasan teater dan aktif di Teater Gandrik.

Serupa dengan itu, seniman peran komedi fenomenal, Den Baguse Ngarso alias Susilo Nugroho, menceritakan kisah perjalanan hidup dalam seni pertunjukannya bersama Djaduk di Teater Gandrik.

“Dulu pertama kali kolaborasi, beliau orangnya sangat ketat (disiplin), padahal di Gandrik kulturnya cair dan bebas,” ceritanya dalam kesempatan yang sama.

Ia sempat mengaku dahulu dengan Djaduk seringkali menuai gesekan karena perbedaan pandangan atau pendapat perihal ide-ide tentang pertunjukan peran.

“Mungkin karena beda style lah jadi kadang padu atau grenengan bareng, tapi akhirnya harus saling mengalah juga dan mengerti karakteristik masing-masing,” katanya.

Kendati demikan, Susilo manyatakan kepergian Djaduk tentu saja meninggalkan kedukaan bagi Nusantara. Hal ini disebabkan tokoh Djaduk telah menjadi inspirasi bagi banyak orang yang saling mengenal dan memahami kepbribadiannya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *