BERNASNEWS.COM – Pemerintah telah berkomitmen melaksankan gerakan revolusi mental bagi masyarakat. Gerakan ini membutuhkan karakter yang kuat, maka diperlukan kesungguhan dan program yang terstrukur agar tujuan dapat tercapai. Dalam upaya menegakkan penguatan pendidikan karakter, pemerintah telah membuat kebijakan pendidikan karakter yang diwujudkan dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 tahun 2017.
Penguatan Pendidikan Karakter ini dilakukan dalam rangka mewujudkan bangsa yang berbudaya melalui penguatan nilai-nilai religius, jujur, toleran, disiplin, bekerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta Tanah Air, menghargai prestasi, komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan bertanggungjawab.
Untuk menyukseskan Penguatan Pendidikan Karakter, Kemendikbud telah merancang dimensi pengolahan gerakan yang meliputi 4 dimensi pengolahan karakter, yaitu Olah Hati (Etik), Olah Rasa (Estetis), Olah Pikir (Literasi) dan Olah Raga (Kinestetis). Gerakan literasi merupakan salah satu upaya menyukseskan pembangunan Indonesia di abad-21 dan dapat diterapkan di lingkungan sekolah. Melalui program terstruktur gerakan literasi dapat dilakukan oleh siswa, guru maupun karyawan.
Gerakan literasi yang terstruktur diharapkan mampu mencetak generasi yang berkarakter kuat. Karena melalui literasi, siswa dapat terbiasa membaca dan menulis. Melalui pembiasaan membaca dan menulis siswa dapat mempunyai kecerdasan intelektual. Untuk itu diharapkan program literasi di setiap sekolah dapat digalakkan dengan format yang terstruktur dan mempunyai sasaran kegiatan yang jelas.
Gerakan literasi tidak selalu dapat diwujudkan dalam bentuk pengadaan buku, pengadaan pojok baca ataupun kegiatan membaca-menulis lain. Kegiatan-kegiatan tersebut dapat diwujudkan pada siswa atau warga sekolah secara umum. Namun ada salah satu upaya kegiatan yang mampu menyentuh siswa yang melanggar peraturan, yaitu berupa Sanksi Literasi. Tata tertib sekolah disusun agar siswa menaati dan dapat menjalankan kegiatan di sekolah untuk mencapai tujuan.
Selain ada aturan seyogyanya ada sanksi bagi yang melanggar dan penghargaan bagi yang mampu melaksanakan tata tertib. Sebab, tidak sedikit siswa yang masih melanggar aturan tata tertib sekolah. Bahkan sudah menjadi perbincangan nasional pernah terjadi beberapa kasus pelanggaran tata tertib siswa yang berujung pada dilaporkannyan sang guru ke kepolisian karena berusaha menegakkan aturan sekolah. Kasus seperti ini sangat mencoreng dunia pendidikan karena guru mengalami dilema.
Sanksi Literasi adalah salah satu upaya dalam rangka memberikan “hukuman” kepada siswa tanpa hukuman fisik maupun materi. Sanksi Literasi dapat diwujudkan melalui berbagai cara, contohnya adalah jika ada siswa yang terlambat maka selain mendapat poin pelanggaran namun juga mendapatkan tugas membuat artikel berisikan tentang cerita alasan keterlambatan atau bahkan tentang pendapat mereka tentang dunia pendidikan. Sanksi Literasi pembuatan artikel ini diupayakan dalam bentuk tulis tangan untuk menghindari plagiarisme oleh siswa.
Kuantitas artikel yang ditulis pun dapat bertingkat, jika melakukan keterlambatan 1 kali maka yang ditulis cukup 1 lembar folio, jika melakukan 2 kali keterlambatan maka artikel ditulis sebanyak 2 lembar folio. Selain memberikan sanksi membuat artikel, wujud Sanksi Literasi lain adalah dengan melampirkan salah satu foto tentang pendidikan karakter dan siswa membuat karangan yang sesuai dengan foto tersebut.
Sanksi Literasi adalah salah satu upaya pemberian hukuman namun masih dalam ranah pembimbingan. Pembiasaan menulis bagi siswa akan melatih daya berpikir, kreasi dan inovasi. Selain itu dengan menulis kemampuan berpikir logis dan daya kognitif siswa akan terasah. Produk dari sanksi literasi pun dapat dimanfaatkan dengan memajang karya tulis tersebut di pojok baca ataupun di majalah dinding sekolah. Bahkan guru dapat membimbing siswa tersebut secara berkelanjutan untuk mengikuti kegiatan ekstrakurikuler jurnalistik maupun diikutkan dalam lomba menulis di tingkat regional maupun nasional. (Arpeni Rahmawati SPd, Guru Bahasa Jawa SMK Negeri 3 Yogyakarta)