BERNASNEWS.COM — Dalam mempelajari tosan aji atau pusaka berupa keris, tombak, dan senjata penikam buatan leluhur ratusan tahun lalu, bagi kita sebagai penggemar ataupun kolektor tosan aji yang terpenting berpegang pada prinsip “Tidak Lancang” yang artinya harus berdasar pada etika dan “Tidak Nantang” maksudnya, bahwa keris atau tosan aji itu dibuat oleh para empu dengan disertai doa-doa dan ritual tertentu, jadi keris itu ada “isinya” (khodam) atau tidak ada yang penting tidak nantang.
Hal itu disampaikan oleh Singgih Sasmito, pakar tosan aji dan pemerhati budaya Jawa dalam acara sarasehan yang bertemakan Mengupas Keris Mataram dari Awal hingga Terkini, yang diselenggarakan oleh Komunitas Keris Lar Gangsir, Rabu (6/11/2019), di Ruang Kafe Museum Sonobudoyo, Jalan Pangurakan, Yogyakarta. Acara saresehan dimoderatori oleh Ketua Lar Gangsir Nilo Suseno dan dihadiri oleh belasan penggemar keris, pengrajin, dan kolektor tosan aji.
“Budaya perkerisan bisa disebut sedang “sakit” terkesan lebih tertutup, beda sekali dengan budaya wayang dan budaya batik yang sama-sama telah diakui oleh UNESCO. Tapi perkembangan wayang dan batik perkembangannya sangat luar biasa dan membumi. Lebih banyak teman-teman di luar (luar negeri) yang lebih paham keris dibanding kita yang menjadi pewarisnya di sini,” terang Singgih.
Perkembangan keris seperti anak tiri dan ini bukan hanya terjadi di kalangan masyarakat atau ada rasa gamang ada rasa ragu ketika menyebut pelestarian budaya keris. Pada era Pak Harto (Orde Baru) keris mempunyai posisi terhormat tapi tertutup, tidak terbuka ke masyarakat baik keilmuannya, maupun teknologinya. Sehingga keris berkembang sendiri sesuai dinamika yang terjadi di dalam masyarakat.
“Jujur beberapa tahun terakhir teman-teman paranormal, perdukunan yang mewarnai dunia perkerisan, justru karena mereka yang eksis bersentuhan setiap hari dengan keris, hingga kini keris bisa lestari. Efek negatifnya wacana, paradigma budaya perkerisan sesuai dengan persepsi sesuai dengan keilmuan mereka. Misalnya, keris bisa memadamkan api kebakaran dan sebagainya,”ujarnya.
Dalam mempelajari keris, Singgih Sasmito menjelaskan ada dua bagian, yaitu mempelajari secara khusus yaitu berkaitan dengan “isi” atau metafisik (sugestif, psychis), dan sebagainya. Juga mempelajari keris secara umum yang dilakukan seperti dalam saresehan tersebut. Mempelajari keris secara umum, meliputi ricikan atau nama-nama bagian dari keris ada 16 item, bentuk keris, tangguh (model zaman pembuatan), dan nama-nama pamor (ornamen pada bilah keris).
“Zaman keemasan keris Mataram terbagi dalam empat periodisasi besar. Pertama, era Panembahan Senopati, tahun 1575 – 1601. Kedua, era Sultan Agung, tahun 1613 -1645. Ketiga, era Amangkurat, tahun 1645 – 1727. Dan keempat, era Palihan Negari, tahun 1755 – sekarang, yakni pecahnya keraton Mataram menjadi Surakarta dan Yogyakarta. Juga terpecahnya Surakarta munculnya Kadipaten Mangunegaran, Yogyakarta munculnya Kadipaten Pakualaman,” papar Singgih.
Lebih lanjut, dalam sesi tanya jawab dan diskusi, Singgih memberikan pesan dan tips bagi kaum milenial agar setidaknya mempunyai satu keris, cukup keris untuk ageman (asesoris) dalam berbusana Jawa dan syukur apabila juga keris dalam bentuk pusaka. Karena keris itu juga mempunyai nilai investasi yang semakin lama atau semakin antik bisa bernilai tinggi. Jika mempunyai keris (pusaka) yang rusak bisa direparasikan atau diperbaiki kepada yang ahli keris/ empu, tidak perlu dilarung (dihanyutkan) di sungai atau laut.
Acara saresehan Keris Mataram yang lebih bernuansa diskusi dan belajar bersama ini, ditutup dengan sebuah kesimpulan, bahwa secara umum keris era Matara mempunyai karakter aktif dan penuh semangat dampak dari situasi yang dinamis. Menyimpan jejak keberanian dan kepercayaan diri dalam menghadapi tantangan zaman, gairah dalam mewujudkan cita-cita.
“Spirit ini mewarisi kepada banyak anak cucu Mataram, dari Paku Buwono, Mangkubumi, Hamengku Buwono, Sambernyawa, Diponegoro, dan sebagainya. Didukung dengan filosofi hidup yang tinggi, serta keagungan guna membentuk insan berkepribadian,”pungkas Singgih. (ted)