BERNASNEWS.COM — Dosen Fakultas Bisnis dan Ekonomika UAJY (Atma Jogja) Dr. Y. Sri Susilo, SE MSi dalam program acara “Kita Bicara” di TVRI Yogyakarta, Selasa (5/11/2019), dengan tajuk Pemberdayaan UMKM DIY memaparkan tentang kewirausahaan dan perlindungan. Atas paparan Sri Susilo tersebut, Bernasnews.com mencoba untuk merangkum menjadi sebuah tulisan untuk penambahan wawasan dan sebagai kajian.
Difinisi Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKN) menurut UU No. 20/ 2008, adalah perusahaan kecil yang dimiliki dan dikelola oleh seseorang atau dimiliki oleh sekelomppok kecil orang dengan jumlah kekayaan dan pendapatan tertentu. Berdasar ukuran usaha, aset dan omset dapat dikriteriakan, Usaha Mikro aset maksimal Rp 50 juta dan omset per tahun maksimal Rp 300 juta, Usaha Kecil aset Rp 50 juta – 500 juta dan omset lebih dari Rp 300 juta – Rp 2,5 milyar, Usaha Menengah aset lebih dari Rp 500 juta – Rp 10 milyar dan omset lebih dari Rp 2,5 milyar – Rp 50 milyar, Usaha Besar aset lebih dari Rp 10 milyar dan omset lebih dari Rp 50 milyar.
“Sedangkan difinisi Usaha/ Industri Kecil Menengah, menurut Badan Pusat Statistik (BPS) mengacu pada pemakaian tenaga kerja. Industri rumah tangga (RT) merupakan entitas usaha yang memiliki jumlah tenaga kerja 1 s.d 4 orang, Industri kecil merupakan entitas usaha yang memiliki jumlah tenaga kerja 5 s.d 19 orang, dan Industri menengah merupakan entitias usaha yang memiliki tenaga kerja 20 s.d. 99 orang,” terang Sri Susilo.
Klasifikasi UMKM menurut Sri Susilo terbagi empat kategori yaitu , Livelihood Activities, UKM yang dimanfaatkan sebagai kesempatan kerja untuk mencari nafkah, yang lebih umum dikenal sebagai sektor informal. Misalnya adalah pedagang kaki lima. Micro Enterprise, yaitu UKM yang punya sifat pengrajin namun belum punya sifat kewirausahaan, Small Dynamic Enterprise, yaitu UKM yang telah memiliki jiwa entrepreneurship dan mampu menerima pekerjaan subkontrak dan ekspor, dan Fast Moving Enterprise, yaitu UKM yang punya jiwa kewirausahaan dan akan bertransformasi menjadi sebuah Usaha Besar (UB).
Profil Usaha Mikro Kecil (UMK) DIY berdasarkan data sensus ekonomi BPS tahun 2016 (2017) memaparkan, bahwa dunia usaha di DIY pada saat ini masih didominasi oleh UMK, dengan jumlah usaha mencapai lebih dari 524,9 ribu usaha atau 98,36 persen dari total usaha nonpertanian di DIY, dan mampu menyerap tenaga kerja DIY lebih dari 1.044,5 ribu orang atau sekitar 78,98 persen dari total tenaga kerja nonpertanian.
“Kunggulan UMK adalah kemampuan bertahan dalam badai krisis, pertama, umumnya UMK menghasilkan barang konsumsi dan jasa yang dekat dengan kebutuhan masyarakat. Kedua, UMK tidak mengandalkan bahan baku impor dan lebih memanfaatkan sumber daya lokal (sumber daya manusia, modal, bahan baku, maupun peralatannya). Ketiga, umumnya bisnis UMK menggunakan modal relatif rendah sehingga relatif tidak berpengaruh dengan depresiasi kurs rupiah,” ungkap Sekretaris ISEI Cabang Yogyakarta.
Lanjut, Sri Susilo menjelaskan keterbatasan UMK adalah relatif sulit berkembang, pertama, minim akses ke perbankan (sumber pembiayaan). Kedua, pengetahuan dan kemampuan sumber daya manusia (SDM) rendah (sekitar 87 persen tidak menjalin kemitraan). Ketiga, pengelolaan usaha masih sederhana (sekitar 96 persen tidak berbadan hukum). Keempat, penggunaan teknologi masih terbatas (pengguna komputer sekitar 10 persen dan 18 persen pengguna internet). Kelima, minim akses ke sumber pemasaran. Keenam, variasi produk statis/ kurang variatif.
Hubungan antara kewirausahaan dan UMKM, Sri Susilo menjelaskan, kewirausahaan adalah suatu proses dalam melakukan atau menciptakan sesuatu yang baru dengan cara kreatif dan penuh inovasi yang memberikan manfaat bagi orang lain dan bernilai tambah, memiliki proses yang dinamis untuk menciptakan sesuatu yang disertai tenggang waktu, modal, sumber daya dan juga risiko. Dan kewirausahaan sebagai salah satu modal dasar untuk memulai menjalankan UMKM.
“UMKM harus menerapkan program kewirausahaan secara optimal yang antara lain, kreatif dan inovatif, smart, pekerja keras, dan bertanggung jawab,” ujarnya.
Sementara itu, bicara tentang perlindungan UMKM, Sri Susilo mengutip pada Perda DIY No. 9/2017 Tentang Pemberdayaan dan Perlindungan Industri Kreatif, Koperasi, dan Usaha Kecil. Juga UU No. 20/2008 Tentang UMKM. Mencakup pemberdayaan, pengembangan, pembiayaan, dan kemitraan. Bentuk perlindungan mengacu pada Pasal: 8, yang meliputi, Bimbingan teknis, pendampingan, dan pengembangan sumber daya manusia; Fasilitasi akses pendanaan dan bantuan permodalan; Fasilitasi ketersediaan bahan baku dan bahan penolong; Fasilitasi sarana dan prasarana usaha; Fasilitasi usaha baru dan memiliki prospek untuk berkembang; Fasilitasi pemasaran; dan/atau Fasilitasi teknologi informasi.
“Pelaksanaannya Pemda DIY dan Pemkab/ Pemkot melibatkan melibatkan stakeholders (BUMS, BUMN, Perusda, Asosiasi Pengusaha, Asosiasi Profesi, PTN/PTS, Komunitas/LSM, dan Media) untuk melakukan sinergitas Pentahelix. Pertanyaannya sudah dilaksanakan dengan optimal belum?,”pungkas Sri Susilo.
Sebagai penutup diskusi, Sri Susio sebagai seorang akademisi yang juga merangkap sebagai Sekretaris ISEI Cabang Yogyakarta ini menyampaikan empat poin, yaitu, perlindungan UMKM mencakup aspek hukum dan kebijakan. Kewirausahaan sebagai salah satu modal dasar menjalankan UMKM. Pengembangan UMKM menuju go export dan go digital yang telah dimotori oleh Bank Indonesia. Mengoptimalkan peran Perguruan Tinggi Negeri (PTN)/ Perguruan Tinggi Swasta (PTS) melalui program pengabdian masyarakat dan Kuliah Kerja Nyata (KKN). (ted)