BERNASNEWS.COM – ORANG Manggarai, Flores, NTT adalah orang yang memiliki cita-cita. Dan cita-cita itu umumnya diungkapkan dalam motto yang tergambar dalam paci/pasi/rait. Paci, asal kata dari bahasa Manggarai yaitu Cipa dan Ci. Cipa berarti menangkis. Dan Ci berati uji (an). Paci berarti sebuah ekspresi (mengekspresikan diri) dalam exorcisme dari suatu tekanan/ pembebasan jiwa dari suatu pergulatan kehidupan.
Sementara kata Caci, asal kata dari bahasa Manggarai ci gici ca, yang berarti uji satu per satu, satu lawan satu. Orang Manggarai memang diciptakan menjadi petarung dan tidak menjadi pengecut. Paci/ pasi/ rait mengungkapkan visi kehidupan dalam mana orang Manggarai menyatakan muatan hidup/ gambaran kekuatan atau kualitas hidupnya yang terungkap secara simbolis atau metafora.
Melalui Paci/pasi/rait orang Manggarai mengekspresikan cita-citanya. Paci/pasi/rait berciri khas puitik (durit), cenderung dihubungkan dengan suku (uku) dan kampung halaman (beo). Seperti yang tercatat di bawah ini:
Paci misalnya: Pangga Lance Reba Lante, Pangga Pa’ang Ata Ngara Tana (Ben S Galus), Néra Béang Léhang Tana Bombang, Palapa Cama Laki Toto Rani Nai, Jarot Labok Tana, Lalong Rombéng Kéor Kolé, Todo Lolo Bali (Mansyur), Wéwa Néra ata Wéla ( Frans Jelata).
Orang Manggarai adalah orang yang mengungkapkan kualitas/ keberadaan hidupnya melalui bahasa metafora/ simbolis melalui paci. Paci menjadi cara mengada (mode of being), cara bereksistensi. Kemengadaan orang Manggarai terwujud dalam berbagai bentuk Paci. Pepatah Manggarai mengatakan ”Konem mese neho nian ata (pangkat mese, sekola mese), landing eme toe manga Paci, lebi di’a hia jadi mendi laing” (Sehebat apa pun seseorang bila tidak punya Paci, lebih baik jadi babu, red).
Paci adalah ungkapan keabadian. Karena dalam Paci tergambar filosofi hidup, cita-cita hidup, visi misi tana (ata) Manggarai. Karena di tana Manggarai tidak ada yang abadi, kecuali tulisan paci itu sendiri. Kalau Descartes, filsuf Perancis, beraliran Rasionalisme, mengatakan ”Cogitio Ergo Sum”, yang berarti ”aku berpikir maka aku ada”, kita dapat mengubahnya menjadi ”Paci Ergo Sum”, yang berarti ”aku paci maka aku ada”.
Orang Manggarai adalah orang yang memiliki harapan agar beraksi cepat dalam menunaikan sesuatu. Harapan ini diungkapkan dalam goet (bahasa sindiran, red): “neka mejeng hese, neka ngonde holes: (jangan lambat berdiri, jangan malas bergerak/ menengok/ menoleh). Singkatnya Paci adalah sebuah cara untuk menemukan identitas sebagai manusia Manggarai.
Beberapa perlengkapan yang digunakan dalam tarian Caci/Danding seperti Panggal, Agang atau Tereng dan Nggiling. Panggal adalah salah satu perangkat Caci. Panggal berfungsi melindungi kepala pemain caci dari pukulan lawan agar tidak cedera berat.
Apa makna filosofi Panggal? Panggal terdiri atas lima sudut yang melambangkan simbol keyakinan orang Manggarai yakni rumah sebagai tempat tinggal/ perlindungan, kampung sebagai tempat persatuan, air sebagai sumber kehidupan, kebuh sebagai simbol kesejahteraan dan gerbang sebagai penjaga atau penjaga kampung.
Sementara Nggiling atau perisai yang berbentuk bulat itu merupakan lambang bumi. Nggiling berbahan dasar kulit kerbau. Bumi tempat tumbuh semua makluk hidup di muka bumi. Nggiling sebagai salah satu perangkat caci melambangkan seorang wanita atau ibu. Ibu mengandung dan melahirkan manusia. Ibu menyusui anak. Dari dalam tubuh ibu melahirkan banyak sumber daya manusia. Nggiling selain lambang bumi (kesuburan) juga sebagai lambang kesejahteraan, kedamaian.
Agang atau Tereng: Tereng berbentuk setengah lingkaran berbahan rotan atau kalau tidak ada rotan bambu pun bisa sebagai simbol laki-laki. Tugas laki-laki adalah melindungi, memberi nafkah anak, menuntun, mengarahkan keutuhan keluarga.
Wado (pecut). Wado berbahan dasar rotan dan ujung diikatkan dengan irisan larik terbuat dari kulit kerbau kering. Wado bermakna sebagai cu’a. Cu’a adalah kayu yang dipakai untuk menanam jagung atau padi atau tanaman apa saja. Ketika dipukulkan kepada lawan itu artinya menanam tanaman. Bila lawannya kena dan berdarah itu berarti subur atau panenan kita berlimpah.
Maka permainan caci biasanya dilakukan oleh orang Manggarai pada saat setelah panenan atau memasuki musim tanam berikutnya. Caci sebagai tarian ucapan syukur kepada Tuhan atas penenan yang berlimpah. (Ben Senang Galus, Pengamat Budaya Manggarai, tinggal di Yogyakarta)