BERNASNEWS.COM – KESERIUSAN Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk memindahkan ibukota negara dari Jakarta ke Pulau Kalimantan semakin nyata. Ini tampak jelas pada pidato Kenegaraan Presiden Jokowi pada 16 Agustus 2019 yang dibacakan di sidang paripurna DPR RI. Sepertinya, tak ada kata mundur atau menunda pemindahan tersebut pada periode kedua Pemerintahan Jokowi-Maaruf yang akan datang.
Semua pihak menyambut positif keputusan politik ini. Karena memang sudah menjadi sebuah keharusan bila dilihat dari sisi geografis, keamanan nasional, dinamika pembangunan ke depan. Pemindahan ibukota ini juga termasuk menjadi sebuah keharusan sejarah demi visi Indonesia unggul di masa depan.
Pemindahan ibukota ini akan menjadi entry point penting untuk pemerataan pembangunan nasional. Mendekatkan pusat pemerintahan ke wilayah miskin tertinggal adalah langkah strategis untuk pembangunan wilayah tersebut. Pemindahan ibukota dari Jakarta ke Kalimantan, dengan sendirinya, akan menggeser paradigma pembangunan yang selama hampir satu abad terpusat pada “Jawasentrisme” (konsentrasi di Pulau Jawa) ke “Non-Jawasentrisme” atau ke wilayah luar Jawa, khususnya Indonesia Bagian Timur (IBT) yang selama ini tertinggal dalam hampir semua aspek.
Pemindahan ini akan mengakhiri mitos “IBT Tertinggal” sekaligus mengakselerasi pemerataan pembangunan untuk hadir dan semakin menjangkau wilayah marjinal dan periperial Indonesia. Ibarat pepatah “dimana ada gula di situ akan ada semut”, pemindahan ibukota ke Kalimantan akan memberi efek domino perkembangan dan pemerataan di luar Jawa karena akan menyediakan aneka sumberdaya (infrastruktur, mesin birokrasi pusat, modal, investasi serta teknologi) yang kesemuanya menjadi kekuatan push-pull factor (faktor pendorobg dan penarik pembangunan) di wilayah Indonesia bagian Timur.
Kita tahu Kalimantan dan IBT sangat kaya dengan sumberdaya alam ekstraktif namun sangat miskin dari sisi SDM dan kapasitas organisasi dan manajemen modern. Juga kita ketahui jejaring dinamika global Asia semakin pesat tumbuh di wilayah Pasifik yang sangat dekat dengan IBT. Indonesia akan semakin dapat gesit memanfaatkan secara cepat dampak dinamika regional ini bagi pembangunan nasional bila ibukota dipindahkan dengan konsep baru yang dinamis dan mendekat ke pusat-pusat pertumbuhan regional tersebut.
Adalah benar bahwa ibukota negara harus mampu menjadi “power house” yang efektif dan efisien guna mewadahi dinamika kemajuan nasional, regional dan global. Bukan sebaliknya, seperti ibukota Jakarta saat ini, yang telah terkesan menjadi “beban nasional” karena menjadi kota metropol yang nyaris penuh berisi aneka kemacetan akibat overkapasitas dari sisi demografi, ekonomi dan ekologis saat ini.
Pemindahan ibukota akan bermakna sebagai pemindahan berbagai peluang dan kesempatan di bidang ekonomi, teknologi, investasi yang ujung-ujungnya akan membuahkan multiflier-effects di dalam pemerataan ekonomi dan penyempitan kesenjangan ekonomi, khususnya antara Jawa dan luar Jawa. Kelak, secara faktual, pemindahan ibukota ini akan mengisi substansi persatuan dan keadilan sosial sesuai amanat UUD’45. (Dr Kastorius Sinaga, Sosiolog Universitas Indonesia)