BERNASNEWS.COM — Bagi wisatawan manca negara atau wisatawan nusantara yang berkunjung ke Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Jawa Tengah rasanya belum puas apabila belum mengunjungi destinasi wisata alam Dieng yang terletak di antara dua wilayah Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah.
Seperti yang dilansir laman Wikipedia, bahwa etimologi nama Dieng dari gabungan dua kata bahasa Kawi (Jawa Kuno), “Di” berarti tempat atau gunung dan “Hyang” berarti dewa, dengan demikian Dieng berarti daerah pegunungan tempat bersemayamnya dewa dan dewi. Namun ada teori lain yang menyatakan nama Dieng berasal dari bahasa Sunda, karena daerah tersebut pada abad ke-tujuh Masehi dalam pengaruh politik Kerajaan Galuh.
Ada beberapa tempat obyek wisata di komplek Dataran Tinggi Dieng (DTD), yaitu wisata alam telaga (danau), mata air, bentuk kawah, candi, gua dan dua bentuk bangunan baru, yakni Dieng Volcanic Theater dan Museum Dieng Kalilasa. Theater untuk melihat film tentang kegunungapian di Dieng, sedangkan museum menyimpan artefak, informasi alam, serta warisan arkeologi Dataran Tinggi Dieng.
Berdasar pengamatan Bernasnews.com, Sabtu (27/07/2019), pembangunan terutama insfrastruktur aksesbilitas menuju DTD dari Kota Wonosobo kini sudah lumayan bagus, demikian pula jalan-jalan yang berada di dalam komplek obyek wisata. Menyoal pembangunan phisik berupa tambahan fasilitas sekitar obyek wisata yang menjadikan catatan jika membandingkan dengan menengok ke belakang antara tahun 1995 – 2010an, kala media online ini masih berbentuk koran cetak yang peredaran menjangkau wilayah Kabupaten Wonosobo dan Banjarnegara.
Pembangunan penambahan fasilitas pada destinasi wisata alam memang perlu perhitungan cermat dan kehati-hatian, di sisi lain fasilitas seperti kamar kecil, kios souvenir dan toko oleh-oleh dibutuhkan terutama oleh para wisatawan (wisatawan lokal) namun di sisi lain justru dapat merusak keindahan alam itu sendiri. Ibarat gadis bersolek pakai kosmetik tapi apa daya kosmetiknya malah berdampak merusak wajahnya.
Salah satu contoh adalah obyek wisata kawah Sikidang di DTD, Sikidang adalah kawah di DTD yang paling populer dikunjungi wisatawan karena paling mudah dicapai. Kawah ini terkenal karena lubang keluarnya gas selalu berpindah-pindah di dalam suatu kawasan luas. Dari karakter keluar gasnya inilah namanya berasal karena penduduk setempat melihatnya berpindah-pindah seperti kijang (bahasa Jawa: kidang).
Merunut sejarah pembangunan kawasan obyek wisata kawah Sikidang tahun 1995an, waktu itu dibangun kios-kios untuk jualan dan jalan konblok dari jalan utama menuju lokasi kawah, ada komentar berpendapat tokoh pariwisata, juga seorang dosen Ilmu Geografi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta berkebangsaan Belanda, bahwa mereka sangat menyayangkan pembangunan fasilitas tersebut yang dicap asal-asalan tanpa mempertimbangkan estetika dan etika terhadap alam.
Dan kini di tahun 2019 apa yang terjadi di obwis Sikidang? Salah satu obwis alam kebanggaan, terlihat hamparan yang dipenuhi dengan properti spot foto untuk selfie (swafoto) pengunjung yang menambah kekumuhan dan terlihat latah, dikarenakan tidak adanya penataan yang berestetika. Belum lagi untuk masuk ke lokasi Skidang dari tempat parkir kendaraan, pengunjung harus melalui lorong kios-kios yang lebih tepatnya seperti “pasar” dengan papan petunjuk ala kadarnya.
Bagi wisatawan yang pernah berkunjung pada puluhan tahun lalu dan ingin mengulang kembali berkunjung untuk bernostalgia di obyek wisata DTD akan ada rasa kecewa dan merasakan betul perbedaan keindahan pemandangan kawah Sikidang zaman dulu dengan sekarang. Suhu udara DTD pun waktu siang sudah tidak sedingin atau sesejuk zaman dulu, ini barangkali pengaruh atau dampak lingkungan alam pegunungan sekitar yang tampak semakin gundul dieksploitasi guna lahan pertanian oleh warga. Semoga tulisan ini dapat menjadi masukan bagi para pengampu kebijakan, khususnya bidang kepariwisataan di Jawa Tengah dan DIY yang kaya akan obwis-obwis alam dan benar-benar alami. (Tedy Kartyadi)