BERNASNEWS.COM — Susunan seng horizontal dekat salah satu sisi dinding halaman belakang Museum Sonobudoyo, Yogyakarta mencuri perhatian pengunjung. Pasalnya terdapat seng dipamerkan di museum bersama karya-karya seni milik seniman yang lain. Bahkan di sekitar area seng tersebut, batu-batu berserakan. Jika dilihat, tidak tampak seperti sebuah karya seni seperti kebanyakan yang menampilkan sajian yang memukau mata.
Bentuk karya seng ini sangat anti mainstream. Hanya berupa seng-seng yang disusun horizontal dekat tembok. Dan yang membuat geleng-geleng kepala adalah tidak adanya gambar atau goresan warna pada seng itu, melainkan hanya cekungan-cekungan yang cukup dalam bahkan terdapat lubang di beberapa sisi seng yang rusak.
“Ini adalah situs. Lokasi performance seniman bernama Kunting,” terang Hendra Himawan selaku kurator sekaligus pemandu tur pameran Museum Sonobudoyo, kepada Bernasnews.com, Jumat (12/07/ 2019).
Setelah Hendra menjelaskan, barulah pengunjung paham bahwa susunan seng beserta batu-batu yang terkumpul merupakan tempat bagi seniman bernama lengkap FJ Kunting dalam menyajikan live performance, setiap hari selama pameran berlangsung selama satu sampai dua jam di halaman belakang Museum Sonobudyo.
Karya tersebut ditampilkan dalam rangka pameran museum Festival Kebudayaan Yogyakarya (FKY) 2019, hingga akhir periode pameran Wirama, tanggal 16 Juli 2019. Di pameran ini, adegan lempar melempar batu ditunjukkan oleh sang seniman FJ Kunting secara langsung. Suara sangat nyaring terdengar akibat batu dengan ukuran kurang lebih sebesar bola kasti menghantam seng. Batu tersebut dilemparkan secara sengaja dengan sekuat tenaga oleh sang seniman. Kunting menamai karya dan live performance itu sebagai “I’m F.I.N.E”.
Dalam deskripsia karya seni milik pria kelahiran tahun 1982 ini, tertulis bahwa karya seng dan life performance yang dibawakan terinspirasi dari pengalaman masa kecilnya saat di Jogja. Kunting kecil yang saat itu pulang bersama teman sekolahnya menjumpai seng yang digunakan untuk menutup bangunan yang sedang dalam masa kosntruksi. Dia dan teman-temannya lantas mengambil batu dan melemparkannya kuat-kuat ke arah seng hinggak menimbulkan bunyi ‘duak’ yang sangat keras. Ada perasaan senang sekaligus lega yang dirasakan oleh Kunting dan kawan-kawannya setelah melemparkan batu itu.
Berkaitan dengan pameran seni rupa Wirama yang merupakan rangkaian FKY 2019, Kunting membawa kembali memori masa kecilnya tersebut menjadi sebuah karya. Karya I’m F.I.N.E tersebut sebenarnya seolah ingin mengatakan bahwa seseorang yang sedang tidak baik bisa baik-baik saja. Hal itu sengaja dimunculkan dalam deskripsi karya. Kata fine dalam bahasa Inggris harusnya berarti baik-baik saja, namun dalam karya ini berarti lain.
FINE merupakan kepanjangan dari Frustate, Injured, Neurotic, Emotional. Melalui live performance-nya, Kunting seolang ingin mengajak siapapun yang hadir di situ untuk ‘ngeloske’ atau melepaskan dengan cara melemparkan batu ke seng yang tersedia. Kunting percaya bahwa usaha untuk melepaskan salah satunya unsur FINE, dengan cara melemparkan batu ke seng yang akan memberikan perasaan lega bagi jiwa-jiwa yang terluka, terutama pada orang yang hanya bisa diam dan memendam.
“Intinya sederhana, kita semua yang berada di sini mengambil batu terus kemudian melemparkan ke sana arah seng berada. Sambil ngomong ‘Oke aku ki rapapa kok’,” kata Hendra, sambil mengajak peserta untuk mencoba ‘ngeloske’.
Pengunjung yang datang ke pameran FKY 2019 di Museum Sonobudoyo diperbolehkan untuk ikut ‘ngeloske’ perasaan mereka. Namun ada hal yang perlu diperhatikan, pengunjung harus berhati-hati dan memperhatikan sekitarnya saat melempar batu agar tidak terjadi hal tidak diinginkan, seperti batu yang dilempar tidak mengenai seng melainkan mengenai orang atau benda lainnya. (Feva)