BERNASNEWS.COM – Hampir satu dasawarsa sociopreneurship atau kewirausahaan berbasis sosial diperkenalkan di Indonesia yang akhir-akhir ini digadang-gadang bisa menjadi salah satu alternatif pemberdayaan ekonomi kita. Banyak wirausaha muda yang bergerak di bidang ini meneladani langkah pengusaha-pengusaha besar untuk beralih dari hanya sekadar menyalurkan dana Corporate Social Responsibility (CSR) mereka ke masyarakat, mengubahnya menjadi yang lebih berdampak pada pemberdayaan ekonomi yang lebih luas.
Sociopreneurship berasal dari kata socio dan enterpreneurship merupakan sinergitas program kerja pemberdayaan sosial masyarakat berbasis wirausaha. Kegiatan ini mengintegrasikan sektor bisnis dan sosial yang diharapkan akan dapat mengatasi masalah sosial, budaya dan lingkungan melalui gerakan yang bertanggungjawab secara sosial.
Sociopreneur dapat diartikan sebagai pengusaha atau wirausahawan yang tujuannya tidak sekadar untuk mendapatkan keuntungan finansial pribadi, namun lebih berorientasi untuk kemaslahatan masyarakat melalui kegiatan sosial. Wirausaha jenis ini biasanya memiliki visi kesetiakawanan sosial untuk menguatkan kepedulian pada sesama, memiliki kepekaan sosial serta semangat untuk berbagi.
Di dalam aktivitas mereka terkandung nilai humanisme, ekonomi kreatif, dan religiusitas. Semakin banyaknya wirausahawan sosial terutama dari kalangan milenial sangat menggembirakan, karena menunjukkan betapa golongan anak muda ini mampu melihat kondisi ekonomi masyarakat di sekitarnya dan berusaha untuk memberi manfaat pada lingkungannya.
Sociopreneurship dirasa dapat menjadi salah satu alternatif untuk pemberdayaan ekonomi inklusif karena memiliki karakter berpihak pada society (masyarakat) merupakan kegiatan kelompok komunitas, peduli pada sesama dan melakukan pemberdayaan pada masyarakat.
Berbeda dari konsep kewirausahaan pada umumnya, prinsip yang diterapkan dalam sociopreneurship adalah kemandirian, kesetaraan, orientasi kesejahteraan bersama dan saling memberdayakan serta sustainable development . Jadi pada dasarnya seorang pelaku kewirausahaan sosial sangat memperhatikan keseimbangan antara laba yang diperoleh dengan kepedulian sosialnya melalui pembangunan yang berkelanjutan. Kelompok ini memperhatikan triple bottom line: People, Planet and Profit, yaitu mengutamakan kesejahteraan masyarakat sekitar dan pemeliharaan lingkungan atas usaha yang dilakukan, sebelum memikirkan laba yang akan diperoleh.
Bukan sekadar CSR
Sampai saat ini, sesuai dengan ketentuan pasal 74 UU nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, kewajiban pemberian CSR hanya terbatas pada perseroan atau perusahaan yang kegiatan usahanya berkaitan dengan sumber daya alam. Akan tetapi melalui RUU Tanggung Jawab Sosial diusulkan kewajiban akan dibebankan ke semua perusahaan baik swasta maupun BUMN.
Berbeda dengan program CSR yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan pada umumnya yang hanya memberikan sekian persen dari laba perusahaan untuk disalurkan kepada masyarakat dalam bentuk program yang memberikan manfaat sesaat, program sociopreuner lebih terintegrasi.
Biasanya perusahaan hanya sekadar memenuhi aturan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah tentang besarnya dana CSR mereka dan menyalurkannya pada masyarakat yang sekiranya berkaitan dengan core business perusahaan. Kalaupun ada program CSR perusahaan yang rutin atau terus menerus dilakukan, biasanya tidak menyeluruh dan tidak berkesinambungan.
Contoh kegiatan usaha yang dapat dikategorikan sebagai kewirausahaan sosial adalah pengusaha yang mengikutsertakan masyarakat sekitarnya sebagai mitra bisnis, baik sebagai pemasok, penyalur atau penyedia jasa yang lain. Misalnya, seorang pengusaha penjual kain songket yang berjiwa sociopreneur akan memberdayakan masyarakat di suatu daerah yang hanya memintal kain songket secara turun temurun, menjadi masyarakat pemasok barang-barang olahan dari kain songketnya dan menjualnya kepada pengusaha sosial tersebut.
Di sini peran pengusaha adalah memberikan pelatihan, pendampingan, pembinaan dan edukasi tentang bagaimana mengolah kain songket dari bahan baku menjadi bahan olahan lain, seperti tas, dompet, sarung bantal, sprei, kap lampu, dan sebagainya yang memiliki nilai tambah ekonomis yang lebih besar daripada hanya selembar kain songket saja.
Dari ilustrasi ini dapat dilihat semakin banyak masyarakat disekitar perajin kain songket tersebut yang dapat ikut bekerja, baik sebagai pembuat pola, pemotong kain, penjahit, pembungkus, dan pelabel. Bahkan secara lebih luas lagi sociopreuner dapat memikirkan hingga penanaman kapas dan pembuatan pewarna alami yang dibutuhkan untuk memintal sebuah kain songket.
Ekonomi inklusif
Secara definitif, ekonomi inklusif adalah suatu strategi untuk meningkatkan kinerja perekonomian dengan perluasan kesempatan dan kemakmuran ekonomi, serta memberi akses yang luas pada seluruh lapisan masyarakat.
Mengutip pernyataan Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo di sebuah surat kabar: “Semua harus berpartisipasi dari ujung ke ujung (baca: Sabang sampai Merauke). Siapa pun warga negara Indonesia harus mendapat akses yang sama (di bidang ekonomi).”
Pernyataan tersebut mengandung asas pemerataan kesempatan dan keadilan pendapatan secara ekonomi bagi seluruh rakyat Indonesia, sehingga tidak ada lagi kesenjangan ekonomi antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain.
Mengacu pengertian di atas, sociopreneurship dapat dikategorikan sebagai salah satu kegiatan untuk mencapai tujuan ekonomi inklusif tersebut. Setiap warga negara boleh melakukan kegiatan wirausaha dan diharapkan akan mengikutsertakan masyarakat di sekitarnya, terutama masyarakat rentan, seperti dhuafa, wanita, dan orang berkebutuhan khusus termasuk penyandang disabilitas fisik dan intelektual.
Ada sebuah model sociopreneurship yang dapat dikembangkan melibatkan kaum difabel intelektual yang pada gilirannya akan ikut menyumbang pelaksanaan ekonomi inklusif secara nyata. Di sini, misalnya, dapat dilihat keterlibatan pengusaha (exporter atau UMKM) green products yang mengikutsertakan kelompok difabel intelektual (seperti penyandang down syndrome) sebagai mitra usahanya untuk menyediakan bahan baku, mengolah menjadi barang jadi dan memasoknya ke perusahaan.
Bagi pengusaha paling tidak ada 3 unsur yang sudah dilakukan yaitu empowerment (pemberdayaan), equality (kesetaraan) dan acceptance (penerimaan). Sedangkan bagi kaum difabel intelektual, yang notabene masih mendapatkan kendala untuk bisa bekerja bersama-sama dengan masyarakat yang lain, akan mengalami 3 keuntungan pula, yaitu existance (diterima keberadaannya), self-confidence (meningkat kepercayaan dirinya, dan yang paling penting adalah independent (mandiri secara ekonomi).
Dari model di atas tercapai azas triple bottom line melalui pemberdayaan kelompok rentan difabel (People), memperhatikan lingkungan melalui penjualan produk-produk hijau (Planet) dan laba (Profit) yang digunakan untuk kemitraan dengan komunitas terpinggirkan.
Semoga semakin banyak sociopreuner terutama di kalangan milenial dikawal Bekraf (Badan Ekonomi Kreatif) yang akan bermunculan yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat dalam kegiatan usahanya sehingga terwujud apa yang kita cita-citakan bersama, pembangunan ekonomi inklusif melalui sociopreneurship. (Dra Sri Rejeki Ekasasi MBA, Dosen Tetap STIM YKPN, Ketua Persatuan Orangtua Anak dengan Down Syndrome (POTADS) Yogyakarta)