BERNASNEWS.COM – Kawasan Malioboro yang menjadi ikon wisata Yogyakarta dan menjadi pusat perbelanjaan terbesar di wilayah ini terus melakukan pembenahan agar para wisatawan yang berkunjung di kota gudeg menjadi “kerasan” dan jumlah kunjungan wisatawan terus meningkat yang pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.
Penataan kawasan Malioboro memang sudah dilakukan sejak beberapa waktu lalu. Dari kawasan yang terkesan semrawut karena bebasnya kendaraan, roda dua maupun empat, melintas dan polusi udara yang semakin menyesakan pernafasan, suara klakson kendaraan yang membisingkan telinga hingga “berserakannya” para pedagang kaki lima yang memburu para wisatawan. Seakan tidak mau kalah dengan para pemilik toko di sepanjang jalan Malioboro-Ahmad Yani.
Menjadi kawasan yang sejuk, nyaman dan asri. Jauh dari bisingan suara kendaraan. Kini, dari hari ke hari, kawasan Malioboro sudah mulai menunjukkan impiannya menjadi Malioboro yang berhati nyaman.
Pemerintah Kota dan pemerintah Provinsi DIY terus melakukan pembenahan, mulai dari pelarangan kendaraan bermotor melintas di kawasan Malioboro, penataan para pedagang kaki lima hingga penghijauan di sepanjang kawasan Malioboro.
Bahkan mulai Juni 2019 lalu telah dilakukan uji coba pedestrian di kawasan Malioboro. Artinya, kawasan Malioboro ini steril dari kendaraan bermotor, kecuali becak, andong, dan pejalan kaki. Sejumlah arus lalu lintas yang akan memasuki kawasan Malioboro dialihkan ke arah lain.
Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) DIY, Sigit Sapto Raharjo kepada media beberapa waktu lalu mengaku penutupan jalur kendaraan di kawasan Malioboro berdasarkan masukan dari sejumlah pihak yakni Dinas Kebudayaan, UGM, dan DPUESDM. Bersamaan dengan itu juga ada penataan PKL. Para pedagang kaki lima ini di tempatkan di beberapa lokasi, salah satunya adalah di eks Bioskop Indra.
Harus diakui kebijakan pemerintah untuk menata kawasan Malioboro memang terjadi pro kontra di tengah masyarakat. Tidak semua masyarakat Yogyakarta menyambut baik dengan kebijakan yang dilakukan pemerintah, ada yang merasa keberatan. Namun pada intinya mereka tetap mendukung penataan kawasan Maloboro, hanya ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan lagi.
Misalnya seperti yang disampaikan Perkumpulan Pengusaha Malioboro – Ahmad Yani (PPMAY) Yogyakarta. Mereka khawatir kebijakan ini akan banyak menimbulkan permasalahan baru di lapangan. Alasannya kantong parkir di Malioboro belum siap. Karena memang belum banyak komunikasi yang dilakukan pemerintah dengan larangan kendaraan bermotor melintas. Mungkin hanya dengan beberapa pengusaha saja.
Jika memang akan diterapkan, pemerintah harusnya menyiapkan sarana pendukung. Salah satu masalah krusial adalah belum tersedianya kantong parkir yang memadai. Selain jarak yang jauh, akses transportasi juga belum pasti diminati pengunjung. Ketika ditutup, hanya ada andong dan becak saja nantinya. Sedangkan satu-satunya moda transportasi yang melintas hanya Transjogja.
Sekda DIY, Gatoto Saptadi mengaku wajar saja ada penolakan dari para pengusaha. Saat ini mereka baru akan melakukan uji coba. Dari sanalah akan diketahui permasalahan apa saja yang muncul, dan akan dibuatkan langkah-langkah optimal untuk meminimalisasi masalah. Semoga saja berbagai persoalan itu terus mengerucut dan pada akhirnya akan ditemukan titik temunya. Sehingga tidak ada lagi kesan ada pihak pihak yang merasa dirugikan maupun pihak yang diuntungkan. Semua tetap akan mendapatkan manfaat yang sama demi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat Yogyakarta khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya. (*)
Oleh: Indira Nourmalita Pradani, mahasiswi Hubungan Internasional Fakultas Fisipol UMY