Opini  

Menumbuhkan Daya Unggul dan Pola Bisnis yang Etis

Drs Z Bambang Darmadi MM

BERNASNEWS.COM – SECARA lebih konkret kegiatan ke arah perdagangan bebas memang telah dimulai sejak 72 tahun yang lalu, yakni sejak ditandatangani kesepakatan Jenewa, yang menghasilkan General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) pada 30 Oktober 1947. Peristiwa tersebut merupakan perundingan untuk mengurangi hambatan-hambatan dalam perdagangan. Perundingan yang sering berpindah dari satu negara ke negara lain itu sering kita dengar dengan nama Putaran Uruguay.

Kemudian dilanjutkan dengan putaran dan perundingan di Marrakesh Maroko pada 14 April 1994, yang selanjutnya diganti dengan nama Word Trade Organization (WTO) yang akan berlaku tahun 2020 mendatang.

Lalu mengapa situasi Asian Free Trade Area (AFTA) yang telah terjadi sejak tahun 1992 belum sepenuhnya mampu menumbuhkan iklim bisnis di berbagai sektor dan belum mampu secara optimal menghasilkan produk atau jasa yang memiliki competitive advantage (keungguan bersaing) dengan negara lain serta belum mampu menciptakan penyerapan banyak tenaga kerja yang maksimal?

Menurut hemat penulis, hal ini terjadi karena organisasi-perusahaan yang ada belum secara optimal melakukan konsep kerja secara tim (team work) secara konsisten. Oleh karenanya aspek kerja tim harus mendapat perhatian secara benar. Dalam kerja secara tim, aspek yang perlu diperhatikan, pertama, setiap anggota tim harus menjadi pemikir dan pelaksana. Kedua, seluruh anggota harus mengutamakan keberhasilan. Ketiga, segala aktivitas menjadi tanggungjawab bersama.

Keempat, mengutamakan kepentingan bersama. Kelima, setiap output (produk atau jasa) harus berwujud yang unik atau spesifik. Keenam, setiap anggota tim harus mampu saling melengkapi adanya kelebihan dan kekurangan. Ketujuh, kepemimpinan bersama menjadi prioritas. Kedelapan, perlunya melakukan evaluasi bersama secara transparan atau terbuka.

Dengan demikian bila organisasi-perusahaan ingin berlaga dalam situasi pasar yang kompetitif dan global, maka konsep team work perlu penanganan secara serius dan perlu didukung dengan tersedianya etos kerja dari para pegawai atau karyawan secara profesional. Terlebih bila kita kaitkan dengan konteks bisnis yang etis dan bisnis yang tidak etis sampai saat ini menarik untuk kita kaji bersama.

Memang untuk menjadi profesi yang luhur, bisnis perlu dijalankan secara etis. Akan tetapi justru di situlah timbul persoalan, apakah benar bisnis perlu dijalankan secara etis? Apakah bisnis perlu etika? Apakah antara bisnis dan etika ada hubungannya? Apakah bisnis punya etika? Singkatnya apa ada “etika bisnis”?

Menurut A Sonny Keraf (1993), Bisnis Amoral, yakni “bisnis adalah bisnis”; Bisnis jangan dicampuradukan dengan etika; Bahwa kerja orang bisnis adalah berbisnis, bukan beretika.

Lebih tegas lagi yang mau dinyatakan dengan mitos semacam itu adalah bahwa antara bisnis dan etika tidak ada hubungan sama sekali. Menurut de George, keduanya merupakan dua dunia yang sangat berbeda karena kegiatan mereka adalah melakukan bisnis, maka yang menjadi perhatian mereka hanyalah memproduksi, mengedarkan, menjual dan membeli barang dan jasa dengan memperoleh keuntungan. Singkatnya, yang menjadi pusat perhatian adalah bagaimana berusaha sekuat tenaga untuk mendatangkan keuntungan yang sebesar-besarnya.

Bisnis Amoral

Kerangka pemikiran Bisnis Amoral adalah bahwa dalam kerangka mitos bisnis amoral, bisnis diibaratkan sebagai permainan judi, yang dapat menghalalkan segala cara untuk menang, untuk memperoleh keuntungan. Dengan demikian dasar pemikiran bisnis amoral tercermim dalam, pertama, seperti halnya judi atau permainan umumnya, bisnis adalah sebuah bentuk persaingan. Dalam hal ini semua orang yang terlibat selalu berusaha dengan segala macam cara untuk menang.

Kedua, dalam permainan yang penuh persaingan, aturan yang dipakai berbeda dengan aturan yang ada dalam kehidupan sosial umumnya, maka aturan bisnis berbeda dari aturan sosial moral umumnya. Ketiga, orang yang mematuhi aturan moral akan berada dalam posisi yang tidak menguntungkan di tengah persaingan yang menghalalkan segala cara.

Maksudnya, di tengah persaingan bisnis yang ketat, orang yang masih mau memperhatikan norma-norma moral akan merugi dan tersingkir dengan sendirinya. Oleh karenanya, bisnis dan etika adalah dua hal yang berbeda dan terpisah satu sama lain. Bisnis tidak dapat dinilai berdasarkan tolok ukur etika dan moralitas, karena pertimbangan-pertimbangan moral dan etika tidak tepat untuk bisnis.

Berbagai argumen

Argumen pertama, bisnis memang sering dianggap seperti judi atau permainan, tetapi tidak sepenuhnya bisnis itu 100 persen sama dengan judi atau permainan. Bisnis diibaratkan dengan suatu judi dalam arti tertentu dapat diterima, karena dalam bisnis orang dituntut untuk berani mengambil resiko, berani berspekulasi dan berani bertaruh seperti halnya dalam judi.

Dalam bisnis orang mempertaruhkan diri, nama baik, seluruh hidup, keluarga serta nasib karyawan beserta keluarga mereka. Dalam hal ini dimensi yang dipertaruhkan jauh lebih luas, lebih dalam dan punya bobot serta nilai yang lebih berat. Argumen kedua, tidak benar bahwa sebagai suatu permainan (judi) dunia bisnis mempunyai aturan main sendiri yang berbeda dari aturan yang berlaku dalam kehidupan sosial pada umumnya. Alasannya karena bisnis adalah aktivitas yang penting dari masyarakat. Bisnis terjadi dan berlangsung dalam masyarakat

Bisnis Etis

Pada sisi lain, Nurcholis Madjid (alm), cendekiawan Muslin Indonesia yang selalu bernampilan low profile, pernah mengungkapkan bahwa pada dasarnya aspek, “Spriritual Bisnis” terkait dengan 4 roh utama, yakni ekosistem, komunitas, transparan dan profesional.

Empat roh yang memiliki nilai-nilai yang berbau spiritual tersebut pasti dikerjakan oleh orang-orang yang memilki jiwa profesional. Sebagai contoh, bangunan Candi Borobudur, Taj Mahal, Basilika Santo Petrus, Masjidil Haram, Spinx (piramid) adalah sebagi contoh yang dikerjakan oleh orang-orang yang memiliki jiwa profesional. Dalam hal ini, aspek profesional selalu mengedepankan adanya unsur kecakapan, integritas, jujur, adaptif dan tentu saja usur etis.

Dengan demikin jika kita telah menetapkan konsep bisnis secara profesional, maka sebenarnya orientasi usaha tidak hanya keuntungan semata-mata yang dikedepankan, akan tetapi aspek sosial tentu lebih diutamakan. Namun dalam kenyataannya tidak sedikit bahwa kegiatan bisnis yang orientasinya hanya mengejar pada sisi keuntungan belaka.

Menurut “Matsushita“ keuntungan atau profit merupakan rangkaian tetesan keringat dalam melayani masyarakat. Sukses besar Matsushita dalam membangun kerajaan bisnis bukan sekedar demi laba, akan tetapi bisnis adalah alat untuk meningkatkan martabat manusia. Disinilah letak sosial dan etis bisnis sangat dikedepankan.

Menurut AM Lilik Agung (2002), etos bisnis yang baik perlu berpijak pada empat pilar yakni the spirit of goodness (roh kebaikan); the spirit of trust (roh kepercayaan).; the spirit of exelence (roh keunggulan); the spirit of service (roh pelayanan).

Bila empat pilar tersebut mampu dilakukan dengan baik oleh para pelaku bisnis, maka baginya telah memiliki tiket masuk untuk memenangkan pasar yang penuh dengan persaingan secara kompetitif. (Drs Z Bambang Darmadi MM, Lektor Kepala/ Dosen ASMI Santa Maria Yogyakarta)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *