BERNASNEWS.COM —Beberapa bulan terakhir polemik mengenai penetapan sopi, minuman tradisional beralkohol yang terbuat dari tuak/arak, yang diproduksi masyarakat Manggarai, Flores Barat, NTT, sebagai minuman resmi asli buatan NTT, sangat ramai. Ada yang pro dan ada yang kontra dengan argumen masing-masing.
Mereka yang menolak beralasan bahwa sopi yang merupakan minuman beralkohol sering menjadi pemicu tindak kriminal/perkelahian atau bentuk keributan lain yang dilakukan oleh mereka yang mabuk setelah minum sopi. Sementara bagi yang mendukung berasalan bahwa sopi merupakan salah satu sumber mata pencaharian rakyat Manggarai karena selain mudah diproduksi juga harganya relatif baik dengan pasar/ pembeli yang sudah jelas.
Tulisan ini tidak mempersoalkan apakah sopi boleh atau tidak ditetapkan sebagai minuman resmi. Penulis hanya mencoba mengenalkan proses pembuatan sopi hingga menjadi minuman yang digemari banyak masyarakat Manggarai, Flores Barat, NTT sejak dulu hingga kini.
Minuman sopi-kini populer dengan nama sopia (sopi asli)-berasal dari tuak, sementara tuak berasal dari nira (legen) dari pohon enau (aren). Untuk menjadi tuak, nira yang jernih seperti air diberi kulit kayu tertentu (di Manggarai disebut haju damer) yang sedikit dilembutkan lalu dimasukkan ke dalam bambu berisi nira. Dalam waktu beberapa menit atau jam, nira yang semula jernih seperti air berubah menjadi keruh, bisa berwarna merah muda/jambon mirip jus jambu dan bisa berwarna putih mirip jus sirsak.
Tuak yang berasal dari nira tadi direbus menggunakan periuk (bahasa Manggarai : lewing) yang terbuat dari tanah liat. Dan untuk menghasilkan minuman sopi dilakukan melalui proses penyulingan menggunakan bambu. Uap dari tuak yang direbus disalurkan melalui bambu yang dipasang tegak lurus di atas periuk dan di dalamnya sudah dilubangi semua dan di bagian atas tertutup rapat untuk menahan uap agar tidak keluar ke atas. Sementara di samping bagian atas bambu yang tegak lurus tadi dibuat lubang untuk dipasangi bambu sepanjang sekitar 5-7 meter yang berfungsi menyalurkan sopi yang dihasilkan dari uap tuak yang direbus tadi. Di ujung bambu panjang dipasang sebuah botol yang menampung sopi yang dihasilkan dari uap tuak yang direbus tersebut.
Karena tuak sudah mengandung alkohol setelah diberi kulit kayu terentu, maka uap dari tuak yang direbus yang menghasilkan sopi dengan warna seperti air jernih juga mengandung alkohol dengan kadar bervariasi. Sopi yang dihasilkan pertama atau satu botol pertama ukuran 1 liter-orang Manggarai menyebutnya sopi nomor satu-kadar alkoholnya sangat tinggi. Sopi nomor satu ini oleh masyarakat setempat juga disebut BM (bakar menyala) karena bila dibakar akan menyala. Mirip spiritus.
Bila botol pertama sudah penuh maka diganti dengan botol kedua. Sopi pada botol kedua kadar alkoholnya semakin rendah dan disebut sopi nomor dua. Karena semakin lama tuak direbus maka kadar alkoholnya juga semakin rendah. Itu berarti sopi yang dihasilkan pun kadar alkoholnya rendah. Bahkan sopi yang dihasilkan terakhir atau sopi nomor tiga tidak mengandung alkohol. Rasanya hambar dengan sedikit kecut. Dan biasanya satu periuk tuak yang direbus hanya menghasilkan dua botol sopi.
Sopi pada botol pertama (sopi nomor satu) lebih keras (kadar alkoholnya tinggi), sementara sopi pada botol kedua (sopi nomor dua) kadar alkoholhnya rendah. Dan bila dipaksakan hingga botol ketiga (sopi nomor tiga) maka sopi yang dihasilkan hampir tanpa alkohol. Rasanya hambar, sedikit kecut. Dan biasanya ini dibuang karena tidak enak untuk diminum.
Dengan demikian, tidak semua sopi mengandung kadar alkohol tinggi. Kadar alkohol sopi bisa diatur dengan cara mencampur sopi nomor satu dengan sopi nomor dua sehingga kadar alkoholnya rendah. Bila ada sopi mengandung alkohol 40 persen bisa dipastikan itu sopi nomor satu tanpa dicampur dengan sopi nomor dua. Dan harganya pasti lebih mahal (dulu sekitar Rp 10.000 per botol). Namun, bila kadar alkoholnya rendah atau sopi nomor dua dan seterusnya maka harganya juga lebih rendah.
Tak perlu dilarang
Lalu, apakah produksi atau peredaran sopi perlu dilarang? Menurut hemat penulis tak perlu dilarang. Yang perlu dilakukan adalah produk dan peredarannya diatur melalui Peraturan Daerah (Perda).
Bila diatur melalui Perda, maka yang diatur mulai siapa saja yang boleh memproduksi lalu hasil produksi disalurkan atau dipasarkan dimana saja. Semua ini perlu diatur dengan jelas agar siapa pun yang memproduksi wajib memenuhi aturan yang ditetapkan. Misalnya, jumlah yang diproduksi dan disalurkan kemana saja. Semua harus jelas agar mudah dikontrol dan diawasi.
Dengan demikian, peredaran sopi tidak di sembarang tempat dan yang membeli pun jelas. Anak-anak di bawah umur tentu dilarang membeli atau mengonsumi sopi.
Dari pengalaman penulis, mengonsumsi sopi sebenarnya tidak memabukkan bila tidak berlebihan. Meminum satu gelas sopi sudah cukup untuk menghangatkan badan, terutama di daerah Manggarai, Flores Barat dengan hawa yang dingin. Namun, bila minum sopi berlebihan, apalagi sampai satu botol per orang, akan membuat orang mabuk sehingga memicu keonaran.
Karena itu, produksi, peredaran/ pemasaran hingga siapa saja yang boleh membeli, perlu diatur dengan jelas dalam Perda atau apa pun bentuk aturannya. Bila ada sopi yang dijual bebas maka penjual atau produsen harus dimintai pertanggungjawabab hingga sanksi terberat melarang yang bersangkutan memproduksi sopi atau mengedarkan sopi lagi. (philipus jehamun, wartawan Bernasnews.com, asal Manggarai, Flores Barat, NTT)