BERNASNEWS.COM — Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan pemberlakuan sistem zonasi dalam penerimaan peserta didik baru, untuk jenang SD, SMP dan SMA. Hal ini ditegaskan dalam Permendikbud nomor 51 tahun 2018. Namun dalam penerapan di daerah, ternyata mendapatkan berbagai respon, salah satunya dari Forum Masyarakat Yogya Istimewa (FORMAYO), sebuah wadah aspirasi yang menjadi tumpuan masyarakay Jogja dalam menanggapi pemberlakuan sistem zonasi di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta.
Pemda Derah Istimewa Yogyakarta (DIY), melalui Dinas Dikpora DIY telah menerbitkan juknis Sistem Zonasi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) DIY tahun 2019 untuk SMA/SMK. Saat ini telah mengalami perubahan satu kali, karena adanya keberatan dari masyarakat. Penentuan Sistem Zonasi PPDB memang menjadi kewenangan pemerintah pusat, namun dalam pembagian zona per daerah, adalah kewenangan pemerintah daerah.
Dalam jumpa pers, Sabtu 15 Juni 2019, FORMAYO, menegaskan, atas kekhawatirannya, bahwa Juknis Sistem Zonasi PPDB DIY tahun 2019 untuk SMA/SMK bisa juga berdampak kepada siswa secara langsung. Hal ini dapat dilihat saat para orangtua siswa SMP di DIY mengadu ke DPRD DIY, pada bulan Mei 2019, sekitar 200 orangtua menyampaikan keluhan, antara lain disampaikan adanya perilaku siswa kelas 9 SMP Negeri yang akan masuk SMA Negeri, secara mendadak berubah perilaku, baik mengurung diri di kamar, murung maupun merasa tidak ada semangat.
Sekjen FORMAYO, Ipan Pranashakti, menegaskan, bahwa secara psikologis beban terberat justru ada pada siswa yang akan masuk SMA Negeri di Yogyakarta tahun ini. Menurutnya, karena perubahan sistem zonasi yang tertuang dalam Juknis tahun 2018 dengan tahun 2019 tampak sekali perbedaanya.
“Harusnya sistem zonasi didahului kesiapan sekolah dan guru, baik kualitas SDM, infrastruktur dan anggaran, bukan didahului pemerataan siswanya. Saat ini terjadi skala prioritas yang kurang tepat dan tidak sesuai dengan filosofi zonasi berkenaan pemerataan pendidikan yang terkesan dipaksakan. Sehinga berdampak beban justru pada psikologis siswa, terutama yang berprestasi,” tegas Ipan, di sela jumpa pers, di Cafe Kolega Gedongkuning, Yogyakarta.
Saat ini memang tujuan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, untuk melakukan pemeraatan pendidikan mendapatkan tanggapan dari masyarakat dengan berbagai reaksi, salah satunya berbentuk keberatan atas penerapannya, terutama karena adanya penerapan yang berbeda di beberapa provinsi. Perbedaan ini karena memang pemerintah daerah berwenang menentukan pembagian zona bagi siswa dan sekolahnya. FORMAYO menyikapi hal ini, dengan ungkapan keprihatinanya, karena pemeraatan siswa didahulukan sebelum pemerataan standar kelayakan sekolah diselesaikan.
Menurut
Ipan, membahas kualitas sebuah sekolah
menengah, tidak bisa menggantungkan dari akreditasi semata, karena prinsip
dalam akreditasi bukan memotret kualitas proses harian, baik keunggulan dan
kelemahan. Akreditasi penting, cuma ini ranahnya ada pada seberapa jauh
kepatuhan sekolah pada atribut yang disusun oleh unsur pemerintah, kemudian
dituangkan dalam borang akreditasi.
“Azas kepatuhan pada atribut borangnya, lebih kental daripada proses monitoring hariannya. Misal saja sebuah sekolah
ada kejadian tawuran hingga tiga kali dalam seminggu, kemudian pihak sekolah
belum mampu meredamnya, maka ada aspek kualitas sekolah perlu dipertanyakan,
tapi ini tidak ada dalam muatan borang akreditasi, apalagi akreditasi dilakukan sekian tahun
sekali”, ujarnya.
Ipan memberikan pertanyaan, ketika ada 10 SMA berakreditasi “A”, apakah ada jaminan kesamaan infrastruktur, kualitas guru, fasilitas, anggaran di 10 SMA tersebut?
“Bisa saja kepatuhan administrasinya sama, tapi dalam hal fisik, proses, output dan outcome-nya dijamin berbeda. Karena sekolah bukan pabrikasi, yang hasil produknya bisa langsuing dilihat kualitasnya setelah selesai diproses,” jelas Ipan.
FORMAYO, sebagai wadah aspirasi masyarakat, saat ini sudah mengantongi lebih dari 500 aspirasi dan opini masyarkakat Yogyakarta yang keberatan atas terbitnya Juknis Zonasi PPDB DIY tahun 2019 untuk SMA/SMK. Aspirasi ini terus bertambah, karena didistribusikan secara online.
“Alasan penentuan Juknis PPDB Daerah Istimewa Yogyakarta terlihat masih berorientasi pada faktor kuantitatif, baik perhitungan kuota berbanding populasi, tapi mengabaikan faktor humanis, padahal ini tentang pemberdayaan manusia, memanusiakan manusia,” tambah Ipan.
Tampaknya,
Ipan masih belum melihat adanya upaya serius pemetaan dan penilaian kesenjangan
antar sekolah di DIY, baik dari sisi proses, fasilitas, dan anggaran secara
akurat dan obyektif. Menurutnya, ada tugas besar atas kualitas pendidikan di
Yogyakarta ini. Ketika kebutuhan guru belum tercukupi dengan baik, mendadak ada
perubahan besar dalam sistem penerimaan peserta didik baru, maka beban kepada
orangtua siswa untuk mendampingi belajar di rumah semakin tinggi.
“Beban
yang paling berat secara psikologis adalah tentang harapan dan impian siswa
dalam satu tahun terakhir, yang mendorong semangat belajarnya, siang malam,
namun ketika sampai pada waktunya untuk memilih sekolah, ada perubahan sistem.
Ini sepertinya layak mengikuti lomba balap sepeda sepanjang 10 kilometer,
kemudian 200 meter sebelum finish,
tiba-tiba ada perubahan tempat finishnya,
kata Ipan sebagai penutup. (*/ted)