BERNASNEWS.COM — Mudik pulang kampung saat lebaran telah menjadi tradisi dan budaya bangsa Indonesia, bisa disebut tradisi bahkan budaya dikarenakan kegiatan setiap setahun sekali itu dilakukan tidak hanya oleh umat muslim dikala merayakan hari kemenangan Idul Fitri usai menjalankan ibadah puasa ramadhan, namun juga oleh masyarakat lintas agama bahkan suku.
Mudik lebaran selain untuk mengunjungi orang tua, kerabat, dan sahabat di kampung. Juga untuk melakukan ritual halal bi halal untuk saling maaf memaafkan dan bagi masyarakat Jawa kegiatan tersebut sering disebutnya “Syawalan” sebab dilakukan pada bulan Syawal (Kalender Hijriah).
Kegiatan Syawalan oleh warga RT 26 Suryoputran, RW 08 Kelurahan Panembahan, Kecamatan Kraton, Kota Yogyakarta, dapat dikatakan telah dilakukan sejak puluhan tahun lalu tidak hanya warga muslim melainkan juga oleh warga non muslim. Awalnya dengan saling kunjung mengunjungi kemudian seiring dengan perkembangan zaman berkumpul bersama di rumah warga nDalem Probodikaran, Jalan Pesindenan, Suryoputran, Kota Yogyakarta hingga kini.
Ketua RT 26 Suryoputran, GBW Imam Karneni, Rabu (05/06/2019), kepada Bernasnews.com, mengatakan, bahwa dulu sekitar 40 tahun lalu kegiatan Syawalan dilakukan oleh kelompok remaja dan pemuda lintas agama saling kunjung mengunjungi rumah untuk halal bi halal atau saling maaf memaafkan kepada para sesepuh atau orang tua dan keluarga, secara bergantian.
“Kemudian seiring perkembangan adminstrasi dan struktur RT, kegiatan Syawalan menjadikan terpilah, yaitu pemuda dan remaja mengadakan sendiri, ibu-ibu di bawah PKK dan bapak-bapak di bawah paguyuban ronda juga menggelar acara Syawalan sendiri. Baru pada tahun 2004 acara Syawalan kami jadikan satu dan kebetulan masih ada warga yang kagungan rumah serta halaman cukup luas di nDalem Probodikaran ini,”terang GBW Imam Karneni.
Soal toleransi antar warga, GBW Imam Karneni, menjelaskan, bahwa di Kampung Suryoputran dan khususnya di RT 26 sejak dulu dari para sesepuh kampung toleransi bergama tidak pernah pudar, antar warga meskipun berbeda agama bahkan beda suku karena pendatang atau mahasiwa yang indekost (mondok) saling bahu membahu dan gotong royong.
“Toleransi telah menjadi pondasi di kampung kami. Salah satu contoh adalah kegiatan Syawalan ini, persiapan tempat dan perlengkapan yang mempersiapkan adalah warga non muslim. Karena warga yang muslim melaksanakan ibadah sholat Ied. Warga non muslim juga menjaga dan mengawasi rumah yang ditinggal untuk sholat Ied di lapangan, begitu pula sebaliknya apabila warga non muslim menggelar ibadah agama yang dianutnya ganti yang muslim yang menjaganya,”kata Imam.
Lebih lanjut, GBW Imam Karneni, menambahkan, bahwa acara Syawalan di lingkup RT 26 Suryoputran ini diselenggarakan secara sederhana usai saholat Ied agar warga dapat melanjutkan kegiatan silaturahmi. Acara hanya berupa penyampaian permohonan maaf sebagai pribadi maupun sebagai pengurus kampung yang diwakili oleh Ketua RT 26 dan Ketua RW 08 Suryoputran, kemudian antar warga berbaris untuk saling ucapkan selamat Idul Fitri dan maaf memaafkan.
“Sajian makanan juga sudah semacam tradisi berupa makanan tradisional, yaitu tape ketan yang dibungkus daun pisang, emping mlinjo, lemper atau arem-arem, sangga buwana, dan sebagainya. Semuanya adalah hasil masakan sendiri para warga. Dan pada acara Syawalan kali ini disertai undian dorprise yang semuanya juga sumbangan dari warga, agar acara tambah meriah,”imbuhnya. (ted)