BERNASNEWS.COM — Laporan analisis makro ekonomi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sudah memberikan gambaran komprehensif tentang kondisi ekonomi tahun 2013-2018. Analisis yang dimaksud mencakup indikator pertumbuhan ekonomi, proyeksi indikator ekonomi DIY 2019-2020, asumsi yang digunakan, dan mengetahui proyeksi kontribusi PDRB Kabupaten/Kota terhadap PDRB DIY dan pertumbuhannya tahun 2019-2020.
Keterangan tersebut disampaikan oleh Rektor Universitas Widya Mataram Prof. Dr. Edy Suandi Hamid, M.Ec, selaku pembahas pada forum Ekspose Analisis Makro Ekonomi DIY Selasa (28/5/2019).
“Saya kira ketika kita membuat pelaporan yang sifatnya regional seperti ini, seharusnya kita membuat kajian fokus yang terkait kekhususan dan karakteristik daerah, baik potensi dan masalahnya”, kata Edy yang juga merupakan anggota Parampara Praja DIY.
Edy menuturkan persoalan akut perekonomian DIY adalah kemiskinan dan ketimpangan, sehingga harus dilakukan kajian mendalam untuk menurunkan kemiskinan maksimal 7% tahun 2022. Selain itu juga harus diupayakan bagaimana menurunkan ketimpangan pendapatan yang masih menempati posisi teratas di Indonesia.
“Ketika melihat laju pertumbuhan ekonomi DIY 2014-2018, maka tampak “deviasi” atau lompatan yang tinggi pada tahun 2018. Hal ini tidak biasa dan hampir tidak pernah terjadi sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2019 naik dari 5.26% menjadi 6.2% atau meningkat hampir satu persen. Ini jauh di atas rata-rata nasional, yang dalam situasi normal DIY selalu berada dibawah rata-rata nasional. Bisa diduga bahwa ini terjadi karena “teratrik” atau bias dari lompatan pertumbuhan ekonomi Kulonprogo sebagai akibat pembangunan bandara Yogyakarta International Airport (YIA)”, kata Komisaris Independent PT Reasuransi Nasional Indonesia ini
Dari sisi pengangguran, Edy menjelaskan tingkat pengangguran di DIY relatif rendah dan jauh dibawah rata-rata nasional. Tahun 2018 pengangguran hanya 3.35%. Namun jika dilihat, sebetulnya pengangguran DIY terkesan lebih tinggi dari angka tersebut, sehingga kiranya perlu dilakukan analisis makro dengan melihat angka setengah menganggur atau bahkan disguissed unemployment supaya bisa memberikan gambaran lebih utuh tentang ketenagakerjaan di DIY. Bisa saja angka pengangguran terbuka yang relatif kecil itu memberikan gambaran menyesatkan, karena sebenarnya masih banyak yang setengah menganggur yang perlu mendapatkan perhatian.
Sementara itu, dalam konteks investasi angka Incremental Capital Output Ratio (ICOR) DIY masih realtif tinggi dibandingkan negara-negara tetangga yang umumnya dibawah empat, sedangkan DIY sendiri masih diatas angka tersebut. Secara teoritik, investasi jangka panjang seperti pembangunan infrastruktur, angka ICOR cenderung tinggi. ICOR juga cenderung tinggi untuk daerah yang harga tanah dan tenaga kerjanya mahal, seperti di Jabodetabek. Namun menurut penjelasan Edy, data dan proyeksi tim analisis menunjukkan hal sebaliknya sehingga memerlukan penjelasan lebih mendalam mengapa hal tersebut terjadi.
“Gini indeks DIY saat ini tertinggi secara nasional. Prediksi tim peneliti tahun 2019 dan 2020 angka Gini Indeks meningkat lagi dari yang saat ini 4.22 menjadi 4.37 dan 4.421 (model VAR). Hal ini perlu mendapat perhatian khusus. Jika terjadi, maka perlu analisis dan rekomendasi langkah detail untuk mewujudkannya, misalnya dengan langkah darurat dengan mendorong konsumsi melalui pemberian voucher atau kartu-kartu hingga program penguatan ekonomi jangka panjang. Dengan langkah tersebut diharapkan bisa menghilangkan kemiskinan secara substantif”, ungkap Edy. (*/ted)